LANGIT7-surabaya,- - Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu meninggalkan jejak bagi dunia kesehatan. Bukan hanya gangguan kesehatan pada saluran pernapasan, namun juga pada mata.
Terbatasnya aktivitas di luar ruangan dan segala aktivitas pekerjaan dan kegiatan belajar mengajar (KBM) dilakukan secara daring dan terus menerus. Hal ini menimbulkan permasalahan pada mata seperti kelainan refraksi mata.
Data International Agency for the Prevention of Blindness pada 2021, sekitar 165 juta anak di seluruh dunia mengalami rabun jauh. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah dan ada sekitar 275 anak pada 2050.
Sedangkan, di Indonesia setidaknya 3 dari 4 anak yang mengalami refraksi belum mendapat penanganan dengan kacamata. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga menyebutkan sekitar 3,6 juta anak di Indonesia mengalami refraksi.
Dosen Fakultas Keperawatan dan Kebidanan (FKK) Siti Damawiyah, S. Kep., Ns., M.Kep., menyebutkan jika kelainan refraksi mata terbagi menjadi miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.
Miopia menjadi kelainan refraksi mata yang sering terjadi pada anak-anak saat ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. “Bisa karena faktor genetik atau faktor lingkungan,” jelasnya.
Baca juga:
10 Manfaat Baik Kunyit Bagi Kesehatan, Salah Satunya untuk PencernaanMaksud dari faktor genetik sendiri yaitu kondisi kelainan refraksi mata miopia diturunkan oleh orang tua kepada anak, sehingga keturunannya juga cenderung beresiko mengalaminya.
Sedangkan faktor lingkungan disebabkan oleh kebiasaan aktivitas dengan jarak pandang yang terlalu dekat dalam waktu lama. “Seperti membaca buku dalam waktu yang lama, membaca sambil tidur, membaca di tempat gelap,” beber Siti.
Selain itu terpapar televisi hingga layar gawai seperti komputer, laptop, maupun telepon genggam terlalu lama juga menjadi penyebab lainnya.
Mengingat hidup di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat, tentunya penggunaan gawai dalam kehidupan sehari-hari sulit untuk dihindari.
Meskipun demikian, kontrol diri dan orang dewasa kepada anak-anak begitu penting dalam penggunaan gawai. Sehingga resiko kemungkinan terkena miopia menjadi lebih rendah.
Siti menambahkan pemeriksaan mata akan lebih baik dilakukan sejak dini, sehingga kelainan terhadap mata dapat diketahui lebih awal dan penangannya bisa lebih cepat dan tepat
(ori)