LANGIT7.ID-Bagaimana masyarakat Arab sebelum Islam memandang pengkhianatan
perkawinan sebagai dosa yang layak dihukum mati, mempermainkan talak tanpa batas, dan menyandarkan anak pada siapa pun yang diakui ibunya.
Di masa Arab
jahiliyah, pengkhianatan dalam perkawinan adalah dosa yang tak terampuni. Seorang pria yang tidur dengan perempuan baik-baik yang bukan istrinya dianggap
berzina dan bisa dihukum mati. Bagi perempuan, hukumannya lebih keras: jika seorang istri kedapatan tidur dengan pria asing tanpa sepengetahuan suaminya, ia dilempari batu hingga mati atau rajam.
Menurut catatan dalam buku
Chiefdom Madinah karya Dr Abdul Aziz MA,
hukuman rajam ini awalnya dikenal di kalangan bangsa Ibrani, tetapi orang Arab pertama yang memberlakukannya adalah Rabi’ bin Hidan. Sejak itu, rajam menjadi simbol paling mengerikan dari pelanggaran kehormatan keluarga di tanah Arab.
Namun ada satu pengecualian yang mencolok. Berzina dengan budak perempuan tidak dianggap pelanggaran asalkan dilakukan seizin atau atas perintah tuannya. Dalam logika masyarakat saat itu, tulis Abdul Aziz, budak adalah harta, dan hak untuk menggunakan budaknya, untuk kerja, untuk dijual, bahkan untuk dikawinkan atau dipaksa melayani pria lain, sepenuhnya milik majikan.
Baca juga: Turunnya Al Qur’an Jadi Transformasi dari Jahiliyah ke Masyarakat Modern Sementara hukum zina diperlakukan keras, perceraian justru dipermainkan. Hak menceraikan istri sepenuhnya di tangan suami. Seorang pria bisa mengucapkan satu kalimat, lalu istri resmi terlepas darinya. Ungkapan yang paling populer di masa itu adalah habluki ala gharibiki yang berarti kuserahkan jalan hidupmu dan pergilah sesukamu. Kadang cukup dengan berkata, aku berpisah darimu, aku ceraikan kamu, atau pulanglah ke rumah ayahmu.
Setelah talak, perempuan tidak mengenal masa tunggu atau iddah sebagaimana diatur Islam kemudian. Seorang suami bahkan bisa menceraikan istrinya satu atau dua kali, lalu memanggilnya kembali, lalu menceraikan lagi, tanpa batas waktu dan tanpa mekanisme yang jelas.
Beberapa jenis talak yang dikenal di masa pra-Islam bahkan terdengar sangat merendahkan. Talak zhihar, misalnya, terjadi ketika seorang suami berkata kepada istrinya, engkau seperti punggung ibuku atau seperti perut saudara perempuanku, sebuah metafora yang membuat perempuan itu seperti bukan lagi istri, tetapi juga bukan bebas. Ada juga talak ila, yaitu suami bersumpah tidak menggauli istrinya untuk waktu tertentu, kadang setahun, kadang dua, hingga perempuan itu terkatung-katung. Menurut Abdul Aziz, Islam kemudian membatasinya hanya sampai empat bulan.
Selain itu ada pula khulu, ketika istri membayar harta pengganti kepada suaminya sebagai syarat dilepas. Dan adhul, ketika perempuan dipaksa menyerahkan sesuatu untuk mendapatkan cerai dari suami yang sengaja menelantarkannya tanpa menceraikan. Abdul Aziz mencatat bahwa perempuan-perempuan kaya kerap menjadi korban praktik ini: dinikahi, lalu diperas, dan dibiarkan tergantung tanpa kepastian sampai menyerah memberikan harta mereka.
Talak bukan hanya menjatuhkan harga diri istri, tetapi juga memutus nafkah. Setelah bercerai, perempuan dibiarkan sendiri tanpa tunjangan apa pun, termasuk dalam kasus talak ba’in.
Baca juga: Ustaz Adi Hidayat: Childfree Sudah Ada Sejak Zaman Jahiliyah Sementara itu, soal anak, masyarakat Arab punya kaidah yang tetap, sebagaimana dicatat dalam buku Pembagian Waris Menurut Islam karya Muhammad Ali ash-Shabuni: al-walad li al-firasy, anak mengikuti ayah yang memiliki ranjang tempat ia lahir. Anak lelaki selalu dihubungkan pada ayahnya dan menjadi pewarisnya, tak peduli bagaimana dia dikandung. Bahkan bila seorang perempuan memiliki lebih dari satu suami, bapak anaknya cukup ditentukan oleh pengakuan si perempuan, atau kadang dengan cara qafah, yaitu pencocokan fisik primitif.
Anak angkat juga diakui penuh seperti anak kandung. Seorang pria boleh mengangkat anak (tabanni), memberinya hak penuh sebagai ahli waris, dan menyandarkannya pada garis keturunannya sendiri. Dalam pandangan mereka, darah, ranjang, dan pengakuan sosial lebih penting daripada siapa sebenarnya yang menurunkan anak itu.
Hukum keluarga di masa Arab jahiliyah menunjukkan wajah paling telanjang dari patriarki. Di satu sisi, pengkhianatan perempuan dihukum mati tanpa ampun, sementara suami bebas berzina dengan budaknya. Di sisi lain, perceraian semena-mena dan anak-anak dijadikan komoditas untuk mempertahankan garis keturunan laki-laki.
Baca juga: Praktik Childfree Zaman Jahiliyah, Anak Perempuan Dibunuh Wahyu-wahyu yang turun di Madinah kemudian tidak hanya memperbaiki mekanisme hukum ini, tetapi juga memperkenalkan nilai baru, bahwa perempuan juga manusia penuh, bukan sekadar harta, dan anak-anak lahir dengan hak yang melekat padanya.
Cerita tentang rajam, talak tak berujung, dan anak yang diperlakukan seperti budak kini tinggal sebagai catatan sejarah, tetapi tetap menjadi pelajaran tentang sejauh mana Islam datang sebagai koreksi pada sistem yang cacat.
(mif)