LANGIT7.ID-
Imam Al-Asy’ari, seperti halnya kaum
Mu’tazilah, meyakini bahwa Allah adalah Mahaadil. Namun, berbeda dari Mu’tazilah, ia menolak pandangan bahwa manusia dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah.
"Ia juga menolak paham al-shalāh wa al-aṣlaḥ yang diyakini oleh Mu’tazilah, yaitu bahwa Tuhan wajib mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik, demi kemaslahatan manusia. Bagi Al-Asy’ari, Allah bebas memperbuat apa pun yang dikehendaki-Nya," tulis
Prof Dr Zainun Kamal dalam buku "
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab "
Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari sebagai Doktrin Akidah".
Al-Asy’ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut pandang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Ia mengartikan keadilan sebagai “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya,” yakni seseorang memiliki kekuasaan mutlak atas miliknya dan dapat menggunakannya sesuai pengetahuannya sebagai pemilik.
Menurut Al-Asy’ari, tidak dapat dikatakan salah apabila Tuhan memasukkan seluruh umat manusia ke dalam surga, termasuk orang-orang kafir. Demikian pula, tidak bisa dikatakan bahwa Tuhan bertindak zalim jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Sebab, menurutnya, perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum. Karena tidak ada hukum atau undang-undang yang berada di atas Tuhan, maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
Baca juga: Kisah Imam Al-Asy‘ari Keluar dari Muktazilah dan Menulis 2 Buku Dengan demikian, Tuhan sebagai pemilik mutlak memiliki hak sepenuhnya untuk memperlakukan makhluk-Nya sesuai kehendak-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari kiamat, menjatuhkan hukuman kepada orang-orang mukmin, atau memasukkan orang kafir ke dalam surga, maka Tuhan tetap tidak bisa dianggap berbuat salah atau zalim. Tuhan tetap bersifat adil. Pahala yang diberikan oleh Tuhan adalah bentuk rahmat, sementara hukuman merupakan manifestasi keadilan-Nya.
Pandangan Al-Asy’ari mengenai keadilan ini menyerupai pandangan sebagian masyarakat terhadap raja absolut yang diktator. Raja yang absolut memiliki hak penuh untuk menghidupkan atau membunuh rakyatnya, dan berada di atas hukum karena hukum itu adalah buatannya sendiri. Maka, dalam analogi Al-Asy’ari, Allah memiliki kemerdekaan mutlak dan berhak berbuat sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Tidak seorang pun dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah demi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Jika Allah menganiaya seluruh umat manusia, baik di dunia maupun akhirat, tidak seorang pun mampu menuntut-Nya. Seperti halnya seorang raja absolut yang menganiaya rakyatnya tanpa bisa dilawan, demikian pula Tuhan dalam konsep kekuasaan mutlak menurut Al-Asy’ari. Bagi Al-Asy’ari, manusia digambarkan sebagai makhluk yang lemah dan tidak memiliki kekuatan apa pun di hadapan kekuasaan Tuhan yang absolut.
Oleh karena itu, pandangan Al-Asy’ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalisme) ketimbang Qadariyah (kehendak bebas). Dalam kelemahannya, manusia sangat tergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan antara perbuatan manusia dan kehendak Tuhan, Al-Asy’ari menggunakan istilah *al-kasb* (perolehan). *Kasb* diartikan sebagai perbuatan manusia yang timbul melalui daya yang diciptakan oleh Allah.
Baca juga: Dua Versi Mengapa Imam al-Asy‘ari Keluar dari Muktazilah Namun, pemahaman mengenai *kasb* yang dijelaskan oleh Al-Asy’ari cukup sulit ditangkap. Di satu sisi, ia berusaha menggambarkan peran manusia dalam perbuatannya. Tetapi dalam penjelasannya, tampak bahwa *kasb* pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan. Maka, dalam teori *kasb*, manusia tidak memiliki pengaruh efektif terhadap perbuatannya. *Kasb*, menurut Al-Asy’ari, adalah sesuatu yang timbul dari pelaku (al-muhtasib) melalui daya yang diciptakan oleh Tuhan.
Jika ditinjau dari definisi "sesuatu yang timbul dari pelaku," maka *kasb* mengandung makna adanya peran manusia. Namun, ketika dinyatakan bahwa *kasb* adalah ciptaan Tuhan, makna keaktifan manusia menjadi hilang, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam tindakannya.
Al-Asy’ari mengajukan argumen dari ayat berikut:
“Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu.”** (QS. Al-Shaffat: 96)
(mif)