LANGIT7.ID-Ketika gurun belum semegah peradaban, Qushayy memulai skenarionya dari balik sepi Kakbah yang sunyi. Ia bukan sekadar pemimpin, ia pengarsitek lahirnya Makkah sebagai kota di tengah benturan kabilah, sumur yang dikubur, dan rumah suci yang dipertaruhkan.
Sejarah tak pernah mencatat tepuk tangan pertama bagi seorang pendiri kota. Barangkali karena ketika Qushayy bin Kilab mulai menapaki gurun sunyi Makkah, belum ada tapal batas untuk disebut kota. Yang ada hanyalah Kakbah, rumah batu tua yang disebut sebagai Rumah Tuhan, dikelilingi perkampungan nomadik yang masih menyimpan bau unta dan jejak kafilah dari Yaman, Najd, dan Syam.
Makkah kala itu bukan kota. Bahkan menyebutnya permukiman pun agak berlebihan. Ia hanyalah titik temu—antara pasir dan peluh, antara kabilah yang bersaing dan sumur yang mengering karena kealpaan para penghuninya.
Namun di tengah itulah seorang anak muda bernama Qushayy hadir, dan diam-diam mengukir namanya sebagai pendiri struktur sosial paling awal dari kota yang kelak menjadi pusat dunia Islam.
Baca juga: Kiswah Kakbah Diangkat Setinggi 3 Meter, Tanda Musim Haji Dimulai Dari Sumur yang DilenyapkanMuhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menyebut sejarah Kakbah tak bisa dilepaskan dari cerita sumur. Zamzam, yang kini dikagumi dan diperebutkan, pernah ditinggalkan, dikubur dalam-dalam oleh Mudzadz dari Jurhum.
Sebelum air suci itu menjadi simbol kesakralan, ia pernah ditenggelamkan bersama emas dan sesajen, semata karena penduduk saat itu lebih gemar hidup mewah daripada waspada. “Lalai,” begitu Mudzadz menyebut bangsanya sebelum meninggalkan kota.
Dan Makkah pun tenggelam dalam kekosongan kepemimpinan. Khuza‘a naik panggung, memegang kendali atas Rumah Suci. Tapi jabatan itu, seperti yang biasa terjadi dalam sejarah Arab pra-Islam, lebih banyak diwariskan lewat kelicikan dan peluang daripada legitimasi moral. Qushayy datang justru saat panggung itu mulai goyah.
Lelaki dari SyamIa tidak lahir di Makkah. Kilab bin Murrah, ayahnya, meninggal saat Qushayy masih bayi. Sang ibu, Fatimah, kemudian menikah lagi dan membawa Qushayy ke Syam. Ia tumbuh di negeri asing, tak mengenal akar keluarganya, sampai suatu hari merasa asing di antara orang-orang yang seolah menerimanya. "Engkau bukan anak kami," begitu hinaan dari kabilah ayah tirinya, Rabi'a bin Haram.
Baca juga: Kisah Tampilkan Muhammad Al-Amin saat Renovasi Kakbah Penghinaan itu menjadi pintu balik sejarah Makkah. Ketika ibunya membuka identitas aslinya, Qushayy tak hanya mendapatkan nama, tapi juga panggilan sejarah. Ia kembali ke Makkah dengan tekad memperjuangkan haknya. Ia tahu bahwa darah Quraisy mengalir dalam dirinya, darah para penjaga Rumah Tuhan.
Perebutan Kunci KakbahSaat itu pengawasan Kakbah berada di tangan Hulail bin Hubsyia dari Khuza‘a. Tapi roda waktu selalu mencari putaran baru. Qushayy melamar Hubba, putri Hulail, dan berhasil. Ia tidak hanya mendapatkan istri, tapi juga tiket masuk ke lingkar kekuasaan.
Namun kunci Rumah Suci bukanlah warisan cinta. Setelah Hulail wafat, kunci jatuh ke tangan Abu Ghibsyan, yang sayangnya lebih mencintai arak daripada amanah.
Dalam satu malam mabuk, ia menukar kunci Kakbah dengan minuman keras dari Qushayy. Sejarah mencatat peristiwa ini sebagai transaksi paling aneh dalam sejarah suci: rumah Tuhan ditukar oleh penjaganya dengan khamar.
Tapi itulah momen Qushayy menyusun strategi politik pertamanya. Ia paham bahwa kunci bukan sekadar logam. Ia simbol legitimasi. Ketika Khuza‘a marah, Qushayy sudah punya kekuatan: dukungan dari kabilah Quraisy. Dengan mereka ia usir Khuza‘a dari panggung sejarah. Sejak itu, kendali atas Kakbah dan Makkah berada di tangannya.
Baca juga: Abu Yazid Al-Busthami: Kakbah Bisa Dikunjungi Tiap Saat karena Bukan Serambi Istana Raja Dar an-Nadwa: Cikal KotaQushayy bukan sekadar menguasai. Ia membangun. Ia paham bahwa kekuasaan yang bertahan adalah yang disandarkan pada struktur. Maka dibangunnya Dar an-Nadwa, gedung pertemuan pertama di kota itu, tempat musyawarah dan penetapan hukum, bahkan pernikahan.
Dari situlah urbanisasi Makkah dimulai. Penduduk Quraisy mulai membangun rumah di sekitar Kakbah, dengan ruang terbuka cukup lebar untuk tawaf. Ia mulai menata sistem logistik dan konsumsi musim ziarah. Ia wajibkan kaum Quraisy menyumbang makanan bagi para peziarah. “Kamu adalah tetangga Tuhan,” katanya kepada mereka. “Yang datang adalah tamu-tamu-Nya. Hormatilah.”
Dinamika WarisanNamun sejarah tidak selalu memilih yang pertama. Meski anak tertuanya, Abd’d-Dar, mendapatkan warisan simbolik seperti kunci Kakbah dan panji, nama Abd Manaf, adik Abd’d-Dar, lebih mencuat di masyarakat. Inilah awal pertikaian dalam tubuh Quraisy yang kelak menjalar hingga masa kenabian Muhammad, cicit Qushayy.
Baca juga: Kisah Pra-Islam: Ketika Raja Tubba Batal Menyerang Kakbah, Masuk Agama Yahudi Tapi di mata sejarah, Qushayy tetap berdiri sebagai figur penggerak. Ia tak hanya mendirikan sistem sosial, tapi juga narasi kota. Di tangannya, Makkah berubah dari titik gersang dalam rute kafilah menjadi pusat spiritual dan ekonomi.
Qushayy bukan nabi. Ia bukan pembawa wahyu. Ia membangun dengan visi, mengambil dengan siasat, dan mencatatkan dirinya sebagai arsitek pertama dari kota paling suci di dunia Islam.
Sejarah, seperti yang kita tahu, sering dimulai bukan oleh yang paling suci, melainkan oleh yang paling sadar akan waktu dan kesempatan.
(mif)