LANGIT7.ID-Di kejauhan, asap tipis dari sebuah gunung berapi di Sumatra Timur pernah menjadi penanda dalam catatan pelaut Arab. Negeri itu mereka sebut Zabaj, dengan seorang “Maharaja” yang menguasai pulau-pulau kaya rempah. Dari pusat kosmopolitan Sriwijaya inilah, pada paruh kedua milenium pertama, jejak panjang Islam mulai menapak di Nusantara.
Sejarawan Michael Laffan (Princeton University Press, 2011; terjemahan 2015) menulis, Islamisasi di kepulauan ini tidak terjadi seketika. Ia hadir sebagai alur panjang, teranyam dalam jaringan perdagangan dari Teluk Persia, Gujarat, hingga Quanzhou di Tiongkok Selatan. Para pedagang membawa kain, keramik, hingga barang pecah belah, dan pulang dengan muatan lada, pala, cengkih, serta burung eksotis. Di pelabuhan-pelabuhan, agama pun ikut bersandar.
Catatan Marco Polo (1292) menyebutkan Perlak, di pesisir Sumatra, sebagai komunitas Muslim pertama yang mapan. Tak lama berselang, sebuah batu nisan bertarikh 1297 menandai wafatnya Malik al-Salih, penguasa Samudra Pasai. Di sinilah, menurut Laffan, Islam pertama kali menjadi agama negara di Nusantara.
Namun jejak yang lebih awal pun ada: makam-makam di Lamreh yang sudah terkikis, menunjukkan keterhubungan dengan India Selatan dan Tiongkok. Pertanyaannya: apakah Islam datang lewat jaringan dagang Chola, Gujarat, atau lewat para sufi tarekat yang membawa dzikir dan wirid dari Aden, Yaman?
Jejak Sufi di PelabuhanSeorang ulama Aden, Abdallah b. As‘ad al-Yafi‘i (1298-1367), mengenang perjumpaannya dengan seorang misterius: Mas‘ud al-Jawi. Mas‘ud, orang Jawi yang telah menempuh jalur spiritual Qadiriyyah, membaiat al-Yafi‘i dalam tarekat itu. Laffan melihat catatan ini sebagai pembenaran teori A.H. Johns tentang peran syekh tarekat dalam membawa Islam ke Nusantara.
Namun ingatan lokal lebih sering menekankan legitimasi kerajaan. Hikayat Raja Pasai misalnya, mengisahkan Raja Merah Silu yang bermimpi Nabi Muhammad meludahi mulutnya—dan ia pun langsung fasih membaca Quran. Narasi semacam ini, menurut Laffan, menunjukkan betapa Islam diposisikan bukan sekadar ajaran spiritual, melainkan juga wahyu legitimasi politik.
Malaka: Dari Alexander hingga al-GhazaliPuncak Islamisasi muncul di Malaka pada abad ke-15. Sulalat al-Salatin menyambung garis keturunan sultan bukan hanya pada Nabi, tapi juga Alexander Agung. Identitas kosmopolitan itu berpadu dengan hukum Syafi‘i, meski laporan pelaut Sulayman al-Mahri (1500-an) masih meragukan keislaman orang Malaka.
Menariknya, teks-teks keagamaan di Malaka juga memperlihatkan hubungan global. Sultan Mansur Shah (1456–1477) disebut menerima naskah al-Durr al-Manzum, yang dikaitkan dengan pemikiran al-Ghazali, tentang dzat, sifat, dan af‘al (tindakan) Tuhan. Menurut sejarawan G.W.J. Drewes, ini memperlihatkan bagaimana ajaran filsafat dan mistisisme Islam berbaur dengan tradisi istana Melayu.
Islamisasi Nusantara, dari Pasai hingga Malaka, pada akhirnya merupakan proses “mengikat simpul” dalam jaringan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan. Para penguasa memanfaatkan agama bukan hanya untuk legitimasi spiritual, melainkan juga untuk mengikat hubungan diplomasi: Pasai dengan Benggala, Malaka dengan Dinasti Ming.
“Bagaimanapun kondisinya, Islamisasi kian mendekatkan kekuatan berbagai koneksi internasional,” tulis Laffan. Rempah-rempah, kitab sufi, dan silsilah nabi bertemu dalam satu panggung: gugus kepulauan Nusantara.
(mif)