
LANGIT7.ID-Di pesisir utara Jawa, pelabuhan-pelabuhan seperti Tuban dan Gresik pernah menjadi titik temu samudra besar: Laut Tiongkok Selatan dan Samudra Hindia. Di sanalah, pada abad ke-15, para pelaut Jawa, pedagang Tiongkok, dan saudagar Arab berlabuh, membawa barang dagangan sekaligus agama. Dari kota-kota pelabuhan inilah Islam merambat masuk ke jantung Jawa, dibawa oleh orang-orang yang kemudian dikenang sebagai Wali Sanga.
Sejarawan Michael Laffan dalam The Makings of Indonesian Islam (Princeton University Press, 2011; terjemahan Indonesia, Sejarah Islam di Nusantara, 2015) menulis, hubungan Tiongkok-Jawa bukan sekadar dagang. Kontak itu juga melahirkan kota-kota muslim baru, seperti Patani, yang bahkan masih menyandang nama “Gresik”.
Para Wali di Panggung Pesisir
Wali Sanga adalah nama besar dalam sejarah Islam Jawa. Mereka disebut wali, dari bahasa Arab yang berarti dekat dengan Tuhan. Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, pendatang dari Champa (Vietnam), wafat di Gresik pada 1419. Muridnya, Sunan Kalijaga, dianggap paling mewakili wajah Islam Jawa: lentur, sinkretis, dan multisuara. Clifford Geertz menyebutnya berlawanan dengan “kekakuan moral” para gurunya dari tanah Arab.
Sunan Kalijaga diyakini memperkenalkan wayang sebagai media dakwah. Sunan Drajat menggubah melodi gamelan, sementara Sunan Bonang merumuskan suluk, pengajaran puitis perjalanan spiritual. Di Gresik, makam Sunan Giri berdiri megah di puncak bukit. Belanda menyebut keturunannya sebagai “paus Jawa”, penanda otoritas religius yang melampaui batas politik.
Jejak Tiongkok dan Legenda Wali
Di Cirebon, kisah perjumpaan Islam dengan Tiongkok tercermin jelas. Sunan Gunung Jati, lahir di Pasai, pergi haji ke Mekah setelah kampungnya jatuh ke tangan Portugis pada 1521. Ia kembali ke Nusantara, menikahi adik Sultan Demak, lalu pindah ke Banten dan akhirnya menetap di Cirebon. Legenda lokal menyebut ia menikah dengan perempuan Tionghoa. Bukti warisan itu nyata: motif awan khas Tiongkok menghiasi pintu makamnya, sementara batik Cirebon tetap menyimpan pola serupa.
Tak hanya itu, laporan dari Cirebon juga menyebut Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming berjasa menumbuhkan komunitas muslim bermazhab Hanafi di Jawa. Nama besar Cina Muslim itu menegaskan: Tiongkok bukan sekadar mitra dagang, tetapi juga penanam benih agama.
Antara Mistisisme dan Kekuasaan
Islamisasi Jawa bukan hanya cerita kesenian dan dakwah. Ia juga berisi debat sengit tentang teologi. Seh Bari dan Seh Ibrahim, dua ulama awal, mengajarkan dasar-dasar mistik berdasarkan al-Ghazali. Mereka menentang tafsir ekstrem Ibn al-‘Arabi tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Pertentangan itu mencapai puncak dalam kisah Siti Jenar. Ia berani menyatakan di depan publik: “Akulah Allah.” Pernyataan itu dianggap sesat, ia pun dieksekusi. Cerita eksekusi Siti Jenar sering dibandingkan dengan nasib sufi besar Baghdad, al-Hallaj. Dalam catatan Eropa, kemiripan itu menjadi simbol benturan antara mistisisme dan syariah.
Warisan yang Diperebutkan
Kini, setiap wali memiliki kompleks makam megah, dikunjungi peziarah dari seluruh Jawa. Mereka mencari berkah, doa, atau sekadar mengulang jejak spiritual. Namun di balik aura religius, ada muatan politik: silsilah para wali sering ditarik-tarik, sebagian diklaim keturunan Nabi oleh ulama Hadramaut, sebagian lainnya disebut keturunan lokal.
“Semangat menguasai sejarah suci Jawa,” tulis Laffan, “menunjukkan betapa besar arti politik para pendiri.” Dari Tiongkok, Arab, hingga pesisir Jawa, Islamisasi adalah proses pertemuan: antara dagang dan dakwah, antara kesenian dan kekuasaan, antara surau dan istana.