LANGIT7.ID-Seiring bertambahnya usia pada manusia dan perkembangan teknologi selalu berbanding lurus dengan perubahan sosial di masyarakat dari sisi kebiasaan, interaksi, cara pandang, adat istiadat dan kebudayaan. Pada aspek ini kita tidak mempunyai pilihan selain beradaptasi dengan perubahan tersebut, dimana hal ini dapat memberikan kemudahan melakukan eksplorasi potensi yang dimiliki dengan mengikuti pola perkembangannya, disisi lain sebagian masyarakat merasa tidaklah menguntungkan dengan perkembangan tersebut karena nyatanya ia tetap harus melakukan suatu pekerjaan dengan cara konvensional. Dan pengaruh yang paling sulit di bendung adalah bila perkembangan tersebut mengubah tatanan budaya yang telah di bangun oleh nenek moyang seperti hilangnya gotong royong, tegur sapa antar masyarakat dan budaya tenggang rasa satu sama merasa dihargai.
Tidak hanya itu perubahan yang terjadi pada era 5.0 mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial. Perubahan ini menjadi perhatian penting ketika perubahan mengkonversi menjadi hal-hal yang negatif. Permasalahan sosial yang muncul setidaknya seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, dan penyebaran berita palsu (hoax).
Indonesia dengan ragam budayanya yang banyak tentu menjadi objek yang paling berdampak terhadap perubahan era baru dibanding negara-negara lain. Corak budaya yang sangat mendasar memungkinkan akan tercerabut dari akar budaya karena ketidakseimbangan antara kehidupan masyarakat dan perkembangan digital.
Antonio Gramsci, seorang pemikir politik dan teoretikus Italia pada abad ke-20. Yang berpendapat bahwa melihat masyarakat itu sebagai medan pertempuran di mana kelompok-kelompok sosial bersaing untuk mengendalikan dan membentuk tatanan politik dan sosial. Ia berargumen bahwa dominasi elit tidak hanya bergantung pada pemaksaan fisik semata, tetapi juga melibatkan pengaruh budaya dan ideologi yang kuat.
Pengaruh globalisasi terhadap budaya masyarakat seringkali terjadi pada apsek interaksi dan komunikasi, dengan perkembangan teknologi informasi mempengaruh cara masyarakat berinteraksi dan berkomunikasi lebih luas dari pada dengan pengaruh globalisasi khususnya dalam bidang teknologi memgubah interpretasi masyarakat terhadap agama dan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Akibatnya terjadi konflik sosial dan agama sering terjadi akibat faktor komplek yang melibatkan perbedaan pendapat, ketidakpastian, ketegangan antar kelompok atau individu dan pengaruh media sosial. Isu-isu sosial yang terjadi membutuhkan perhatian agama terhadap masalah-masalah sosial sehingga peran agama dalam hal ini memiliki jalan penting untuk menyelesaikannya.
Era Society 5.0 mempengaruhi sosial masyarakat
Society 5.0 berasal dari bahasa inggris yang artinya masyarakat dan 5.0 yang menandakan bahwa tekah masa tertentu. Konsep ini menjadi sebuah penyelesaian berbagai permasalahan sosial dan menciptakan keberlanjutan dengan pendekatan teknologi (baca faruqi, 2019)
Era baru ini disebut dengan era Society 5.0 yang merupakan satu era yang lahir dan dikembangkan oleh negara Jepang dan mencerminkan tahap evolusi masyarakat berdasarkan peran teknologi. Pengaruh Society 5.0 dalam masyarakat mempengaruhi segala bidang kehidupan, khususnya dalam sosial sehingga berakibat pada kesenjangan sosial karena status sosial dan mengikisnya nilai kerukunan antar masyarakat.
Itu artinya ada pembentukan masyarakat baru dengan mengubah kebiasaan lama menjadi kenyataan baru, produksi perubahan ini tentunya memiliki pengaruh yang luas, karena juga berdampak terhadap adanya tatanan baru dalam dinamika masyarakat. Kebiasaan lama tidak lagi menjadi dominasi aktivitas melainkan hanya melengkapi kegiatan-kegiatan yang dilakukan contoh hilangnya budaya tegur sapa, minimnya sopan santun dan rasa tenggang rasa yang terkikis.
Misal salah satu surah di dalam Al-Qur'an menggambarkan tentang hujun perubahan sosial.
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ سُوٓءٗا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ
“...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu bangsa sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu bangsa, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S. Al-Ra’du, 13:11).
Ayat ini menjelaskan tentang perubahan sosial atau masyarakat merupakan suatu keniscayaan, sebetulnya setiap perubahan sosial yang terjadi akan berdampak terhadap sekitar, seandainya masyarakat melakukan perubahan untuk usaha-usaha yang menjadi kebaikan makan dia akan mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman sedangkan bila masyarakat mengarahkan perubahan ke arah yang buruk, maka masyarakat itu akan menjumpai masa kehancurannya.
Logika agama dalam memberikan alasan dinamika sosial
Dalam pandangan para sosiolog, agama tidak hanya suatu sistem kepercayaan yang wajib diyakini atau praktik ibadah sebagai bentuk penghambaan, namun juga merupakan fenomena dan dinamika sosial yang mempengaruhi sangat struktur dan dinamika masyarakat (baca Hamali, 2017)
Selaras dengan hal tersebut, agama memiliki karakter dan identitas sebagai penyatuan aspirasi manusia yang paling tinggi, sebagai sumber pembentukan moralitas yang kuat, sebagai fondasi awal tatanan sosial, dan sebagai pembawa kedamaian batin dan dzahir, tidak hanya itu agama akhirnya berfungsi sebagai elemen yang memuliakan dan membentuk manusia menjadi yang berakhlakul karimah. Kesemuanya ini mencerminkan realitas bahwa agama merupakan bagian integral dalam kehidupan manusia (baca Mawardi, 2016).
Seiring berkembangnya kehidupan manusia dan tuntutan zaman terhadap agama justru dapat membingkai Islam menjadi sempurna,
penalaran yang digunakan meng-ejawantah kurang dan lemahnya agama dalam memberikan solusi kehidupan. setidaknya ada dua pandangan untuk memberikan jangkauan terhadap hal diatas yaitu Islam dari sudut pandang kelenturan dan universalitasnya, yaitu al-Islam Mutathawwir (Islam berkembang) dan al-Islam Shalih li Kulli Zaman wa Makan (Islam relevan di setiap masa dan tempat). Dari dua sudut pandang tersebut mengisyaratkan bahwa bukan Islamnya yang berkembang melainkan cara pandang dan interpretasi manusia terhadap agama mengalami peningkatan sehingga ia mampu meng-internalisasi dan merinci ajaran agama agar lebih berkembang (baca logika agama, Quraish Shihab: 2017)
Islam sering disebut sebagai agama rasional, memiliki segudang alasan yang bertumpu pada penggunaan wahyu dan akan pikiran sehingga mampu mendudukan persoalan menjadi ketetapan amaliyah bagi kehidupan manusia. Hal ini pada dasarnya memberikan argumentasi alasan maslahat dalam setiap keputusan agama selaras dengan perkembangan kehidupan pribadi maupun sosial.
Sejatinya Islam memiliki watak yang universal sehingga ia mampu beradaptasi, mengakomodasi serta menyesuaikan dengan tegas posisinya, sehingga ciri ini perlu dikuatkan dengan tidak meninggalkan lokalitas sesuai dengan pendapat ibnu taimiyah yang mengatakan banwa bahwa masalah-masalah riil yang berhubungan dengan umat Islam sehari-hari itulah yang diperhatikan, bukan masalah skolastik yang bersifat formalistik (baca muhammad amin, ijtihad ibnu taimiyah dalam bidang fikih islam: 1991)
Salah satu cabang agama yang membahas secara merinci tentang urursan dunia yaitu Muamalah Duniawiyah, bahwa dalam prakteknya muamalah tidak boleh diartikan hanya berkaitan dengan ha-hal ekonomi, jual beli atau hutang piutang bahkan pernikahan, tetapi perlu diartikan lebih luas masuk ke wilayah-wilayah sosial dan perkembangan teknologi. Dengan memberikan pengertian bahwa muamalah adalah aturan Allah yang mana berisi interaksi antara manusia satu dengan lainnya (horizontal) sehingga ada batasan-batasan sebagai bentuk panduan agama dalam menjalankan kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Bahkan dalam penelitian Jalaluddin Rahmat, mengatakan bahwa Islam ternyata agama yang lebih banyak menekankan urusan muamalah dari pada urusan ibadah. Dalam prakteknya Islam ternyata banyak terlibat merumuskan dan memberikan panduan dalam hal-hal kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual. Islam mengajarkan bahwa pengabdian dan pekerjaan baik tidak hanya bisa dilakukan di dalam Masjid namun dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal demikian mungkin dapat diperhatikan misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial kadangkala diberikan keleluasan atau kelonggaran waktu untuk memperpendek atau menangguhkan seperti shalat qosor atau dijamak dan tentu bukan bukan ditinggalkan (Baca Buku Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial dan Islam Aktual)
Dengan kata lain Islam memberikan keleluasaan kepada umat Islam melalui kerangka muamalah untuk mengerjakan aktifitas kehidupan dunia untuk mewujudkan dan memperoleh keberkahan hidup sehingga dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik, sehingga ada keseimbangan hidup didunia dengan akhirat, Tuhan dan Manusia serta manusia dengan manusia yang lain termasuk antara ibadah dan muamalah. Dibalik itu semua ada semacam batasan yang diperhatikan oleh agama yaitu sesuatu apapun boleh dikerjakan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama maka boleh dikerjakan sebagaimana dalam kaidah fiqih:
اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya
Sesungguhnya prinsip menjalankan dunia dengan baik adalah logika agama sebagaimana kaidah diatas, yang dalam keterangan mendalamnya bahwa muamalah menjadi penyeimbang hubungan manusia dengan Allah dan relasinya dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.
Sikap akomodatif agama terhadap perubahan sosial menjadi ciri dalam menjalankan proses ijtihadi, dimana doktrin ini memberikan peluang argumentasi untuk mengembangkan dan melalukan kontekstualisasi ajaran Islam sehingga umat mendapatkan pandangan hukum yang yang sesuai realitas yang dialami
Yang pada akhirnya perkembangan dan perubahan dinamika sosial memiliki pengaruh dan dampaknya terhadap terhadap perkembangan hukum islam sebagaimana kaidah usul berbunyi,
تغير الأحكام بتغيير الزمان والمكان
(Perubahan hukum, tergantung perubahan zaman dan tempat.)
Melalui kaidah diatas kita akan menemukan satu gambaran tentang, bahwa perubahan hukum islam merupakan keniscayaan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.
Maka peran-peran mujtahid (seorang pemikir agama) memberikan formulasi hukum yang realistis menjadi tantangan umat dalam menemukan dan menggali ketentuan Hukum, disinilah fungsi agama untuk memberikan panduan kapanpun dan diwaktu apapaun, sehingga agama tidak hanya hadir di ruang kecil melainkan selalu hidup seiring berkembangnya kehidupan manusia.(pemerhati fiqih sosial)
(lam)