LANGIT7.ID–Jakarta; Tanggal 28 Oktober bukan sekadar momentum upacara tahunan. Bagi bangsa Indonesia, hari ini adalah simbol kesadaran kolektif yang lahir dari keberanian anak muda untuk menolak dijajah, menolak dipecah, dan menolak lupa akan jati diri bangsanya. Pada 1928, mereka berkumpul di Jakarta, gelisah karena kebebasan mereka terkekang oleh penjajah Belanda, lalu bersepakat menegakkan tonggak sejarah baru: Sumpah Pemuda.
Dari pertemuan itu lahirlah tiga ikrar suci yang mengubah arah sejarah Indonesia: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. Sejak saat itu, anak-anak negeri ini tahu siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka akan melangkah — menuju kemerdekaan sejati.
Menurut Pengamat Sosial Ekonomi dan Keagamaan sekaligus Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, Sumpah Pemuda adalah penegasan jati diri bangsa yang membangkitkan semangat perjuangan generasi awal Indonesia.
“Sumpah yang mereka ikrarkan dan kumandangkan tersebut benar-benar telah menggetarkan jagat nusantara karena lewat sumpah tersebutlah anak-anak negeri ini memiliki kejelasan tentang siapa mereka dan ke arah mana perjuangan yang mereka lakukan untuk dihadapkan,” ujar Anwar Abbas.
Ia menjelaskan, kesadaran itu membuat para pemuda 1928 memahami bahwa tanah air Indonesia bukan milik penjajah, melainkan milik mereka sendiri. Kesadaran kebangsaan ini melahirkan rasa persaudaraan lintas suku dan daerah yang menjadi pondasi kuat bagi terbentuknya satu bangsa.
Selain itu, mereka juga sadar perlunya alat pemersatu agar komunikasi dan perjuangan bisa terjalin lebih kuat. Dari kesadaran inilah lahir keputusan penting: menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan — bukan bahasa etnis mayoritas, tapi bahasa yang mampu merangkul semua.
Setelah Kongres Pemuda 1928, arah perjuangan menjadi semakin jelas. Muncul tokoh-tokoh pergerakan yang tidak menginginkan apa pun selain satu tujuan: Indonesia merdeka. Namun, menurut Abbas, perjuangan itu belum selesai. Tantangan bangsa kini adalah menjaga makna persatuan agar tidak pudar di tengah derasnya kepentingan pribadi dan perbedaan politik.
“Oleh karena sebagai bangsa yang beragama, berakhlak dan berbudaya kita tidak boleh melupakan sejarah. Kita harus selalu ingat akan jasa dan perjuangan para pendahulu kita dimana mereka telah berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan di antara kita sebagai warga bangsa dan sekarang tugas kita adalah bagaimana kita bisa melanjutkan dan memaknai perjuangan mereka dengan mengisi kemerdekaan yang sudah kita peroleh dengan sebaik-baiknya,” tegasnya.
Ia menambahkan, setiap warga negara bebas berkarya dan mengabdi sesuai kemampuan masing-masing, namun tidak boleh mengorbankan persatuan. Begitu persatuan dan kesatuan terkoyak, maka sangat sulit untuk memulihkannya.
Karena itu, Anwar Abbas menegaskan pentingnya menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 sebagai fondasi bangsa. Hanya dengan cara itu, Indonesia bisa terus hidup dalam kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi seluruh anak bangsa.
(lam)