LANGIT7.ID-Di tengah riuhnya perdebatan soal bantuan sosial, jaminan kesehatan, dan subsidi yang terus dikaitkan dengan politik elektoral, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah mengingatkan: tanggung jawab negara terhadap rakyat miskin bukan kemurahan hati, tapi kewajiban moral dan hukum.
“Islam tidak membiarkan mereka menjadi miskin dan terlantar,” tulis Qardhawi, “tetapi berupaya mewujudkan bagi mereka kehidupan yang layak.”
Pandangan itu terasa segar di tengah sistem kesejahteraan modern yang sering terjebak dalam logika bantuan sementara, bukan jaminan sosial permanen. Dalam konsep Islam, kesejahteraan sosial—
takaful ijtima’i—bukan proyek politik, melainkan bagian dari iman.
Zakat, Bukan Sedekah SukarelaDalam pandangan Qardhawi, jaminan sosial Islam berdiri di atas pilar zakat—kewajiban harta yang bersifat mengikat, bukan donasi suka rela. Ia menyebutnya “hak pasti bagi si fakir dan kewajiban atas para muzakki.”
“Dipungut dari orang kaya mereka, dan diberikan kepada orang miskin mereka,” sabda Nabi SAW (HR. Bukhari dan Muslim), yang dikutip Qardhawi untuk menegaskan bahwa zakat adalah sistem distribusi kekayaan, bukan amal karitatif.
Berbeda dari pajak yang sering mengalir ke birokrasi dan elite, zakat dalam sistem Islam bersirkulasi di dalam tubuh umat—dari tangan yang berlebih ke tangan yang kekurangan. Dari ummat, untuk ummat.
Negara Sebagai Penanggung UtamaNamun zakat saja tidak cukup. Ketika kemiskinan belum tertanggulangi, negara harus turun tangan. Qardhawi mengutip ayat Al-Anfal: 41 dan Al-Hasyr: 7 untuk menegaskan bahwa sumber daya publik—dari hasil bumi hingga tambang—harus digunakan demi kesejahteraan rakyat, “agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.”
Bagi Qardhawi, negara dalam Islam bukan hanya penjaga keamanan, tetapi juga pelindung kehidupan sosial. Ia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab yang memberikan santunan kepada seorang Yahudi tua yang meminta-minta. Bahkan setiap bayi Muslim di masa itu mendapatkan tunjangan dari Baitul Maal sejak lahir.
“Tidak seorang pun kecuali dia berhak memperoleh harta ini,” ujar Umar. Dalam kalimat itu, Qardhawi melihat cikal bakal sistem jaminan sosial universal yang berakar pada nilai keadilan.
Hak Lain di Dalam HartaKetika zakat dan anggaran negara belum mencukupi, Qardhawi menegaskan masih ada hak lain dalam harta pribadi orang kaya. “Bukanlah seorang mukmin itu orang yang kenyang sementara tetangganya lapar,” tulisnya, mengutip sabda Nabi.
Kesadaran sosial ini, menurutnya, lebih kuat dari sekadar regulasi: ia tumbuh dari iman. Kaum Asy’ariyyin di masa Nabi yang mengumpulkan bekal mereka dan membaginya rata, menjadi teladan solidaritas yang melampaui kepentingan pribadi.
Namun bila kesadaran itu mati, negara harus hadir. “Apabila tidak menunaikan kewajiban tersebut secara rela,” tulis Qardhawi, “maka mereka akan dipaksa untuk mengeluarkannya.”
Lebih dari Sekadar AmalDalam sistem takaful ijtima’i, solidaritas sosial adalah kontrak moral sekaligus kebijakan publik. Negara wajib menjamin kehidupan warganya, sementara masyarakat diwajibkan saling menopang.
Qardhawi menutup dengan ayat Al-Baqarah: 274: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari, secara tersembunyi dan terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.”
Bagi umat, ayat itu bukan sekadar seruan spiritual, tapi juga prinsip ekonomi politik. Dalam tafsir Qardhawi, takaful ijtima’i adalah jalan tengah antara kapitalisme yang dingin dan sosialisme yang memaksa—sistem yang menegakkan keadilan melalui iman.
(mif)