Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 19 November 2025
home masjid detail berita

Rezeki Tak Pernah Salah Alamat, Tugasmu Hanyalah Menjemputnya

miftah yusufpati Jum'at, 14 November 2025 - 16:53 WIB
Rezeki Tak Pernah Salah Alamat, Tugasmu Hanyalah Menjemputnya
Pepatah rezeki tak pernah salah alamat kembali hidup di tengah gelombang kecemasan ekonomi. Ilustrasi: AtmaGo
LANGIT7.ID-Kalimat ini berseliweran di media sosial: “Rezeki tidak pernah salah alamat.” Ia muncul dalam poster kajian, status pedagang kecil, sampai caption motivasi para pekerja harian. Seolah menjadi mantra baru yang menenangkan, pepatah itu merangkum kegelisahan ekonomi masyarakat yang menghadapi ketidakpastian.

Namun, pepatah ini ternyata bukan sekadar ucapan populer. Dalam literatur klasik Islam, gagasan tentang rezeki telah dibahas berabad-abad sebelum istilah “motivasi” menjadi komoditas digital. Para ulama besar—Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim, hingga Al-Mawardi—menempatkan konsep rizq sebagai persoalan teologi, etika, hingga kebijakan sosial.

Lalu bagaimana ajaran yang lahir dari ruang intelektual abad pertengahan itu bisa relevan bagi masyarakat modern?

Di bilik kitab kuning, rezeki digambarkan bukan sekadar uang atau kemakmuran material. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut rezeki sebagai “segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia”. Spektrum itu mencakup ilmu, kesehatan, pertemanan, bahkan ketenangan batin.

Konsep ini kemudian bergerak lebih tajam pada ulama Hanbali, Ibn Taymiyyah. Dalam Majmu’ al-Fatawa, ia menulis:
“Rezeki seseorang tidak akan meleset, meski seluruh makhluk berusaha menghalanginya.”

Pernyataan keras ini mengendap sebagai basis keyakinan bahwa rezeki sudah dikunci, tidak tertukar dan tidak tersesat.

Ibn Qayyim, murid paling berpengaruh Ibn Taymiyyah, memberi lapisan tambahan. Dalam Madarij al-Salikin ia mengelompokkan rezeki menjadi dua: yang dijamin, seperti hidup dan kebutuhan dasar; dan yang dituntut, yang hanya muncul jika manusia menjemputnya.

Di sinilah muncul ide “menjemput rezeki”—istilah yang kini populer di seminar bisnis dan motivasi spiritual.

Menjemput, Bukan Menunggu

Frasa itu tidak hanya menjadi nasihat rohani, tetapi berubah menjadi pola pikir kerja. Ajaran tentang ikhtiar dan tawakal yang dibahas panjang oleh Al-Qusyairi dalam Al-Risalah al-Qusyairiyyah kini hidup kembali dalam diskursus publik: manusia bekerja, Tuhan menentukan hasilnya.

Dalam wawasan fikih kontemporer, Yusuf Al-Qaradawi memperluas pandangannya. Dalam Al-Halal wal-Haram fil Islam, ia menyebut mencari rezeki bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari ibadah, selama dilakukan secara halal dan jujur.

Di berbagai lapak pedagang Tanah Abang dan Pasar Pagi Asemka, ungkapan “yang penting usaha, sisanya serahkan kepada Allah” berulang. Tanpa mereka sadari, itulah sintesis ratusan tahun pemikiran ulama dunia.

Jalan Berliku Rezeki

Namun, rezeki bukan sekadar hasil dari kerja keras. Para ulama klasik menempatkan akhlak spiritual sebagai syarat utama.

Al-Ghazali menulis syukur sebagai penambah rezeki. Ibn Katsir, dalam tafsirnya terhadap QS. Al-Baqarah: 261, menyatakan sedekah sebagai jalan rezeki yang paling “mengembang”. Ibn Qayyim lebih ekstrem: rezeki haram, katanya, membawa kecemasan. Rezeki halal membawa keberkahan.

Narasi ini membentuk fondasi etika ekonomi Islam: kerja, syukur, sedekah, kejujuran. Itu sebabnya, bahkan dalam ruang pasar tradisional yang riuh, pedagang kerap berujar “yang penting berkah”.

Dalam pembacaan politik-ekonomi Islam, rezeki tidak berdiri sendiri. Al-Mawardi, ulama politik dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah, memandang rezeki sebagai amanah sosial. Ia hanya akan menciptakan kemakmuran jika didistribusikan, bukan ditumpuk.

Pemikiran ini berpadu dengan teori sosiologi Ibn Khaldun dalam Al-Muqaddimah: kemakmuran masyarakat muncul dari perputaran harta, bukan penumpukan modal oleh segelintir orang.

Dalam konteks Indonesia hari ini—kesenjangan ekonomi, akses kerja yang timpang, hingga naiknya biaya hidup—ajaran lama itu menemukan relevansinya kembali.

Ketika Pepatah Menjadi Penopang Harapan

Pada akhirnya, pepatah “rezeki tidak pernah salah alamat” bukan ajakan untuk pasrah. Ia lebih mirip penyeimbang antara usaha dan keyakinan. Di tengah tekanan ekonomi, inflasi, PHK massif, dan ketidakpastian teknologi, kalimat itu menjadi jangkar psikologis bagi banyak orang.

Dalam perspektif para ulama, rezeki adalah takdir yang sudah ditetapkan. Dalam perspektif manusia modern, ia adalah dorongan untuk bergerak. Kombinasi keduanya melahirkan optimisme yang rasional: bekerja keras sambil percaya bahwa dunia tidak sepenuhnya acak.

Jika pepatah itu terus bertahan dari ruang kitab kuno ke linimasa media sosial, mungkin karena ia menjawab kegelisahan yang sama sejak berabad-abad lalu: bahwa manusia boleh letih mencari, tetapi rezeki tidak akan tersesat menuju pemiliknya.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 19 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:04
Maghrib
17:54
Isya
19:07
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan