LANGIT7.ID-Di tahun-tahun akhir kekhalifahan Utsman bin Affan, gelombang kecil pergolakan di timur kekuasaan Islam berubah menjadi rangkaian penertiban militer yang melelahkan. Di balik rentetan ekspedisi itu, terbentang persoalan klasik hubungan pusat–daerah yang tidak sepenuhnya selesai sejak masa Umar. Dari Khurasan hingga pesisir Laut Kaspia, sejumlah kota Persia bagian utara melanggar perjanjian jizyah, memaksa gubernur-gubernur baru Utsman turun tangan.
Rangkaian pelanggaran itu tercatat dalam karya-karya sejarah awal Islam seperti yang dihimpun al-Tabari, al-Baladzuri, dan Ibn A‘tham al-Kufi. Ketiganya menyinggung wilayah Khurasan, Jurjan, dan Tabaristan sebagai simpul gejolak pada awal dekade ketiga Hijriyah. Sumber-sumber ini, yang juga disitir sejarawan modern seperti Hugh Kennedy dan Wilferd Madelung, menunjukkan bahwa akar persoalan bukan sekadar pembangkangan pajak, tetapi retaknya konsensus lama yang dibangun sejak masa Umar.
Salah satu wilayah kunci itu adalah Tabaristan. Ketika Umar masih berkuasa, Suwaid bin Muqarrin pernah menjalin kesepakatan dengan para pemimpin Jabal Jilan: jizyah dibayar, keamanan dijamin. Kesepakatan tanpa pertempuran itu bertahan bertahun-tahun. Namun memasuki tahun 30 Hijriyah, situasi berubah. Di beberapa kota Persia utara, pembayaran jizyah macet. Di Khurasan, pelanggaran itu direspons oleh Abdullah bin Amir, sepupu Utsman yang ditunjuk menjadi gubernur Basrah. Sementara dari Kufah, Sa’id bin As bergerak ke Qumais, Jurjan, dan Tabaristan.
Di Jurjan, Sa’id tidak menemukan perlawanan berarti. Kota itu memilih memperbarui perjanjian, kali ini dengan nilai 200.000 dirham. Tetapi ketika pasukannya bergerak dari Jurjan ke Tabaristan, situasi berubah drastis. Sumber-sumber klasik menggambarkan Tabaristan sebagai wilayah dengan benteng-benteng kuat di pegunungan selatan Laut Kaspia. Di sanalah Sa’id menghadapi perlawanan sengit dari kelompok Tamiyah. Intensitas serangan memaksa pasukan Muslimin mengerjakan salat khauf.
Riwayat al-Tabari menuturkan bahwa pengepungan berlangsung lama. Koordinasi antar-suku di Tabaristan tampak lebih solid ketimbang kota-kota lain yang sebelumnya takluk tanpa banyak perlawanan. Strategi Sa’id perlahan menekan mereka. Ketika mengepung salah satu benteng, Sa’id memperlihatkan bahwa posisi lawan sudah mustahil dipertahankan. Pada akhirnya mereka meminta damai. Syarat damai diterima, di antaranya permohonan agar tidak ada pembantaian.
Namun setelah pintu benteng dibuka, pihak Tabaristan kembali menyerang. Pasukan Muslimin kehilangan banyak orang. Dalam versi sejarah yang lebih keras—direkam Haekal, Ibn A‘tham, dan sebagian riwayat al-Baladzuri—Sa’id kemudian membalas dengan membunuh hampir seluruh penghuni benteng, menyisakan hanya satu orang. Setelah insiden itu, Tabaristan jatuh. Sa’id dan pasukannya menyisir wilayah itu tanpa menemukan perlawanan tambahan.
Sementara itu, di front Basrah, dinamika politik tidak kalah rumit. Abu Musa al-Asy’ari, gubernur yang dipertahankan Utsman sejak masa Umar, memimpin enam tahun pertama pemerintahan baru itu. Tetapi wilayah-wilayah Persia yang berada dalam pengaruh Basrah perlahan ikut bergolak. Riwayat al-Tabari merinci bagaimana Aizaj dan sebagian suku Kurdi membangkang. Penanganan Abu Musa tidak terekam jelas dalam sumber-sumber awal, mungkin karena masa tugasnya sendiri diperdebatkan: tiga atau enam tahun.
Ketika pemberontakan makin merembet, sebagian tokoh Basrah meminta Utsman mengganti Abu Musa. Mereka membawa keluhan ke Madinah. Al-Tabari mengutip dialog panjang yang menggambarkan ketegangan antara Abu Musa dan sejumlah elite lokal, diwarnai kecurigaan atas barang bawaan dari istana gubernur. Di tengah tekanan itu, Utsman mengangkat Abdullah bin Amir, pemuda berusia sekitar 25 tahun, sebagai gubernur Basrah.
Abdullah bin Amir adalah figur penting dalam meredakan gejolak Persia timur. Sumber-sumber sejarah sepakat menilai keberaniannya dalam memimpin ekspedisi militer. Ia menguasai Sijistan, mengejar pembangkangan hingga Kabul, sementara Umair bin Sa’d yang ditunjuk Utsman untuk Khurasan mendorong perluasan sampai ke Fergana. Di tangan Abdullah bin Amir, pasukan Basrah digabung dengan pasukan Usman bin Abi al-As di Oman dan Bahrain, membentuk kekuatan baru untuk menata ulang wilayah timur.
Bacaan sejarah modern menilai rangkaian ekspedisi ini sebagai bagian dari fase paling kritis dalam pemerintahan Utsman. Hugh Kennedy melihatnya sebagai akibat percepatan ekspansi yang tidak diimbangi konsolidasi. Sementara Madelung mencatat bahwa pemilihan gubernur-gubernur muda dari kerabat Utsman, seperti Abdullah bin Amir, memperkuat persepsi nepotisme yang pada akhirnya menyulut kritik di Hijaz.
Dalam pembacaan yang lebih luas, pelanggaran perjanjian di Khurasan, Jurjan, dan Tabaristan bukan sekadar catatan militer, tetapi penanda rapuhnya relasi kekuasaan di wilayah taklukan baru. Di tengah perubahan cepat, Madinah harus menata ulang kendali administratif atas daerah yang pada masa Umar cenderung stabil. Konflik itu memperlihatkan bagaimana kebijakan Utsman memasuki fase yang mempertemukan ambisi ekspansi, kebutuhan konsolidasi, dan ketidakpuasan lokal yang mulai mengeras.
Ketika gejolak pusat akhirnya meledak menjadi kritik politik terhadap Utsman, persoalan-persoalan di timur menjadi bagian dari gambaran lebih besar: kekhalifahan yang memasuki usia dewasa tetapi belum menemukan keseimbangan antara pengendalian wilayah luas dan manajemen kekuasaan di pusat.
(mif)