LANGIT7.ID- Di punggung tanah Fergana yang dingin, seorang raja tanpa kerajaan masih memelihara bara kecil dalam dirinya. Yazdigird bin Syahriyar, maharaja terakhir Sassaniyah, telah lama terusir dari Ctesiphon. Namun dalam hatinya, seperti dicatat Muhammad Husain Haekal dalam
Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, masih berkedip harapan: takhta itu belum sepenuhnya padam.
Perlindungannya kini hanya Khaqan Turki. Namun setelah Khalifah Umar terbunuh, percikan harapan itu berubah menjadi nyala terang. Yazdigird melihat celah. Ia menulis surat ke berbagai wilayah Persia, meminta rakyat bangkit. Tetapi seruannya tenggelam dalam ingatan pahit akan kekalahan dan pemerintahan Muslim yang—di mata banyak wilayah—hadir dengan keadilan dan toleransi baru. Seperti dicatat al-Baladzuri dalam
Futuh al-Buldan, sebagian besar wilayah Persia justru memilih patuh, bukan karena tak berani memberontak, tetapi karena melihat stabilitas baru yang tengah tumbuh.
Yazdigird pun diam cukup lama, seakan menunggu retakan politik lain. Retakan itu datang bukan dari Persia, melainkan dari perubahan internal di tubuh Muslim sendiri. Ketegangan di Kufah dan Basrah melemahkan kontrol administratif di timur. Para pejabat Persia yang sebelumnya tunduk mulai membaca situasi. Mereka menulis surat kepada Yazdigird: bahwa inilah waktunya kembali. Narasi ini sesuai dengan analisis Touraj Daryaee dalam *Sasanian Persia: The Rise and Fall of an Empire*, bahwa sisa-sisa aristokrasi Persia bergerak oportunistik, memanfaatkan kekacauan politik di pusat untuk merestorasi struktur lama.
Seruan itu berhasil. Dari Fergana Yazdigird kembali menyeberang ke Khurasan. Gelombang itu membangkitkan kembali kebanggaan Persia lama. Suku, bangsawan, dan elite lokal serentak bergerak. Timur Persia meledak dalam pemberontakan besar-besaran. Tujuannya satu: mengusir pasukan Muslim dan menerima kembali maharaja sebagai sumber legitimasi.
---
Kabar itu sampai ke Kufah dan Basrah. Sa’id bin al-As dan Abdullah bin Amir membaca ancaman itu bukan sekadar ancaman militer, tetapi ancaman politik terhadap Khalifah Utsman. Jika Khurasan dan Persia lepas, tekanan politik di Madinah akan berubah menjadi gelombang yang menenggelamkan kekhalifahan. Kedua gubernur itu bergerak cepat. Mereka mengerahkan komandan-komandan terbaik, memadukan seruan jihad, kewajiban melindungi umat, dan—seperti ditulis Haekal dengan jernih—kalkulasi kekuasaan pribadi yang terselip di balik seruan religius.
Pertempuran demi pertempuran pecah. Di Istakhr, Ubaidillah bin Mu’ammar gugur, menjadi harga kekalahan pasukan Muslim. Di Baihaq, Aswad bin Kulsum al-Adawi menembus celah tembok tetapi dipukul mundur dan dibunuh bersama pasukannya. Kemenangan-kemenangan Persia ini hanya sesaat, mengingatkan sejarawan pada sisa-sisa kekuatan Sassaniyah yang masih menyala. Namun seperti dicatat Parvaneh Pourshariati dalam *Decline and Fall of the Sasanian Empire*, tatanan Sassanid yang telah tercerai-berai tak mampu menopang perang besar secara berkelanjutan.
Tak lama kemudian gelombang berbalik. Abdullah bin Amir sendiri turun ke Istakhr, menaklukkan kota itu. Baihaq direbut kembali oleh Adham bin Kulsum, melanjutkan upaya saudaranya yang gugur. Pasukan Muslim menyusur Khurasan, menaklukkan kota-kota satu per satu sementara para pemimpin Persia menawarkan perdamaian dan menyerahkan harta yang jumlahnya, menurut catatan al-Baladzuri, mencapai nilai yang sulit dipercaya.
Dari Khurasan, operasi itu meluas ke Sijistan, Kerman, dan bahkan mendekati perbatasan India. Catatan historiografi memang berselisih: apakah Kabul telah ditaklukkan tuntas di masa Utsman, ataukah penaklukannya baru rampung kemudian. Namun sumber kuat menunjukkan bahwa pasukan Muslim menghadapi perlawanan keras di pegunungan Afghanistan dan tidak mampu menembus lebih jauh.
---
Di tengah kemenangan itu, Yazdigird kembali menjadi pelarian. Usahanya memantik kebangkitan Persia berakhir seperti upaya-upaya sebelumnya: terputus di tengah jalan oleh retakan internal bangsanya sendiri. Dari Khurasan ia kembali tercerai-berai, sementara pasukan Arab menegakkan kembali kekuasaan di wilayah timur.
Ketika Abdullah bin Amir selesai menundukkan gelombang pemberontakan itu, seseorang berkata kepadanya: tak ada kemenangan yang menyamai capaian ini di Persia, Kerman, Sijistan, dan Khurasan. Ia menjawab pendek, “Sebagai rasa syukur, saya akan umrah dari Nisapur.” Sebuah keputusan spiritual yang dalam catatan sejarah tampak sebagai jeda setelah fase terberat dari konflik timur.
Di sisi lain, bagi Yazdigird, perjuangan itu menandai kegigihan terakhirnya. Sebuah kegigihan yang tak lagi didukung kekuatan politik, tak lagi disambut penuh oleh bangsanya, dan tak sanggup menahan gelombang perubahan dunia. Dari Ctesiphon ke Merv, dari Samarkand ke Khurasan, ia terus mencoba kembali menduduki takhta yang runtuh—hingga sejarah menuliskan dirinya bukan sebagai pemulih kerajaan, tetapi sebagai raja terakhir yang tak berhenti berjuang meski dunia telah berubah selamanya.
(mif)