LANGIT7.ID-Stabilitas politik di Madinah pada masa Khalifah Utsman bin Affan tidak mencerminkan kegelisahan di wilayah timur kekhalifahan. Persia, yang sebagian besar telah tunduk sejak era Umar bin Khattab, kembali bergolak. Di kawasan Azerbaijan dan Armenia, pemberontakan sering muncul saat kekuatan pusat tampak melemah oleh persoalan internal.
Muhammad Husain Haekal dalam
Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan (P.T. Pustaka Litera AntarNusa) menyebutkan bahwa pelanggaran perjanjian menjadi pemicu utama. Khalid bin Uqbah dikirim menundukkan Azerbaijan, sementara Armenia dibekuk setelah Bizantium memberikan bantuan militer kepada pemberontak lokal.
Sejarawan Hugh Kennedy dalam The Great Arab Conquests (2007) mencatat bahwa kawasan Persia pasca-penaklukan awal tidak pernah sepenuhnya stabil. Elite lokal masih merawat ambisi lama, berharap momentum untuk mengembalikan otonomi. Kematian Umar memberi kepercayaan diri pada mereka untuk menguji kekuatan khalifah baru.
Di Hamazan, Nu’aim bin Muqarrin memimpin pengepungan setelah kota itu melanggar perjanjian seusai Perang Nahawand. Penduduk meminta damai, namun pasukan Muslim ditempatkan permanen untuk memastikan kepatuhan serta pembayaran jizyah (Haekal, merujuk pada Ibn Katsir, al-Bidayah wan Nihayah).
Namun itu belum selesai. Di Istakhr, Raja Syahrak memimpin perlawanan terbuka. Al-Hakam bin al-As dikirim ke medan perang. Syahrak dan putranya terbunuh, lalu kawasan Persia kembali menyetujui perdamaian yang sebelumnya telah disetujui.
Sejarawan Bernard Lewis dalam The Middle East: A Brief History of the Last 2,000 Years (1995) menilai pergolakan di Persia saat itu bukan sekadar isu politik, tapi juga pertempuran identitas. Struktur aristokrasi Sasanid belum sepenuhnya runtuh dan masih memengaruhi masyarakat lokal untuk menolak integrasi penuh dalam kekhalifahan.
---
Meski kemenangan militer diraih, stabilitas tetap rapuh. Pergolakan di Persia berlangsung bersamaan dengan kritik di Madinah terhadap kebijakan penunjukan keluarga Utsman dalam jabatan strategis. Pihak oposisi menuding bahwa pusat terlalu sibuk dengan intrik kekuasaan hingga lengah menjaga wilayah pinggiran.
Bagi Utsman, setiap api pemberontakan di Persia menjadi pengingat keras bahwa penaklukan bukan akhir. Menguasai wilayah bukan berarti menguasai hati penduduknya.
Pasukan Muslim akhirnya memastikan perlawanan di berbagai kota itu padam. Tapi sejarah menunjukkan: dari arah timur, percikan pembangkangan bisa muncul lagi setiap kali pusat melemah.
(mif)