LANGIT7.ID- Di tengah dunia yang hiruk-pikuk oleh krisis iklim, akhlak terhadap lingkungan kembali menemukan relevansinya. Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam
Wawasan Al-Quran (Mizan), menyebut bahwa relasi manusia dengan alam bukan sekadar hubungan pemanfaatan sumber daya, tetapi mandat kekhalifahan: sebuah amanat untuk memelihara, membimbing, dan mengayomi seluruh ciptaan agar mencapai tujuan penciptaannya.
Prinsip itu menempatkan alam bukan sebagai objek penaklukan. Istilah menaklukkan alam pun, tulis Shihab, tidak dikenal dalam Islam. Ia lahir dari mitologi Yunani yang melihat alam sebagai musuh yang mesti ditundukkan. Al-Quran justru menegaskan bahwa yang menundukkan alam adalah Allah; manusia hanya menerima kemampuan sebatas anugerah. Pada titik ini, pandangan moral Qurani berdiri berhadapan dengan modernitas yang sering menempatkan alam sebagai infrastruktur untuk dieksploitasi.
Akhlak lingkungan dalam Al-Quran melampaui kesadaran ekologis biasa. Ia menuntut penghormatan terhadap proses-proses alam: tidak mengambil buah sebelum matang, tidak memetik bunga sebelum mekar, memberi kesempatan setiap makhluk menuntaskan tujuan penciptaannya. Dalam bahasa ekolog modern, konsep ini selaras dengan prinsip ecological integrity, sebagaimana dibahas Lynn White dan Seyyed Hossein Nasr dalam kajian etika lingkungan Islam. Nasr menyebutnya sebagai kesadaran kosmik: memahami tempat manusia dalam tatanan yang lebih besar, bukan sebagai penguasa tetapi penjaga.
Bahkan dalam perang, larangan merusak lingkungan ditegaskan. Menebang pohon tanpa keperluan mendesak dilarang, dan jika pun terpaksa, harus sesuai dengan izin Allah—yakni berada dalam kerangka kemaslahatan. Pesan ini muncul dalam Al-Hasyr ayat 5. Pesan moralnya jelas: kerusakan lingkungan adalah kerusakan terhadap diri sendiri.
Al-Quran mengingatkan bahwa semua makhluk, termasuk hewan dan burung, adalah umat seperti manusia (Al-An’am 38). Tafsir Al-Qurthubi menegaskan: mereka tidak boleh diperlakukan aniaya. Perspektif ini bukan hanya ekologis, tetapi teologis. Setiap makhluk adalah milik Allah; manusia hanya pemegang amanat yang kelak dipertanyakan pertanggungjawabannya. Hadis tentang At-Takatsur ayat 8—bahwa setiap nikmat akan dimintai pertanggungjawaban—memberi bobot moral yang kuat terhadap tindakan manusia terhadap alam.
Dalam tradisi Barat modern, environmental ethics banyak berangkat dari gagasan hak-hak lingkungan atau keberlanjutan. Namun akhlak Qurani membawa dimensi spiritual: manusia harus mencari keselarasan, bukan kemenangan, terhadap alam. Alam dan manusia sama-sama tunduk kepada Tuhan; relasi keduanya adalah persahabatan, bukan kompetisi.
Nabi Muhammad Saw. menjadi figur sentral akhlak ekologis. Ia memberi nama setiap barang—bahkan benda mati—sebuah gestur simbolik bahwa segala sesuatu memiliki nilai dan layak dihormati. Hadis-hadisnya menjadi bagian awal dari etika konservasi: memperlakukan hewan dengan baik, tidak membebani hewan tunggangan, memberi makan sebelum menuntut kerja.
Literatur kontemporer seperti buku Richard C. Foltz, Animals in Islamic Tradition and Muslim Cultures, menegaskan bahwa tradisi Islam kaya dengan nilai-nilai konservasi yang hari ini dianggap progresif. Prinsip-prinsip itu hadir jauh sebelum dunia mengenal aktivisme lingkungan modern.
Prinsip taskhir dalam Al-Quran—penundukan alam untuk manusia—sering disalahpahami sebagai legitimasi eksploitasi. Padahal makna moralnya berlapis: alam memang disediakan untuk dimanfaatkan, tetapi manusia tidak boleh tunduk kepada benda dan tidak boleh diperbudak oleh hasrat pemilikan. Dalam bahasa ekonomi ekologis, ini selaras dengan critical sustainability: manusia boleh mengelola alam, tetapi tidak boleh kehilangan kendali moral atas keinginannya sendiri.
Kesadaran kosmik itu ditutup dengan pernyataan Al-Ahqaf ayat 3: bahwa langit, bumi, dan seluruh ciptaan diciptakan dengan tujuan. Jika manusia memikirkan diri sendiri saja, ia sedang mengkhianati fungsi khalifah yang ia emban. Akhlak terhadap lingkungan, dalam formulasi Qurani, adalah akhlak terhadap diri sendiri, terhadap generasi mendatang, dan terhadap Tuhan yang menitipkan seluruh alam sebagai amanat.
(mif)