LANGIT7.ID, Jakarta - Pondok Pesantren Kauman di Kecamatan Lasem, Kab. Rembang, Jawa Timur, menjadi salah satu ponpes yang mengajarkan toleransi kepada para santri. Pesantren ini dibangun atas permintaan masyarakat setempat.
Pengasuh Ponpes Kauman Lasem, KH Muhammad Zaim Ahmad Ma'shoem (Gus Zaim), awalnya tidak berniat mendirikan pesantren. Ia hanya pindah rumah bersama keluarga dari Ponpes Al-Hidayat, Soditan Lasem, ke kawasan Pecinan, Desa Karangturi, Lasem pada 2000.
Ia membeli sebuah rumah dengan dua kamar di kampung tersebut. Namun, beberapa alumni Al-Hidayat meminta Gus Zaim mengajar beberapa santri. Jumlah santrinya terus meningkat hingga pada 2005-2006 mencapai 60 orang. Peningkatan jumlah itu membuat Gus Zaim membangun kamar baru.
"Akhirnya saya beli lumbung padi dari desa untuk
gothakan (menyepi). Jadi, kalau pesantren saya ini terkesan unik banyak lumbung padi, ini bukan maksud saya agar terlihat unik, tapi memang kebutuhan kami pada waktu itu," Kata Gus Zaim, dikutip laman resmi Kemenag, Rabu (26/1/2022).
Seiring perjalanan waktu, atas bantuan dari donatur, pesantren itu akhirnya bisa dibangun. Nama Pesantren Kauman pun terlahir atas sebutan dari warga. Gus Zaim mengaku tidak memberi nama khusus.
Ada yang menyebut pesantren Karangturi, karena terletak di Desa Karangturi. Ada pula yang menyebut Pesantren Pecinan karena terletak di tengah masyarakat Pecinan. Sebagian lainnya menyebut Pesantren Kauman, karena berada di dukuh Kauman, berdekatan dengan kawasan Masjid Jami' Lasem.
Mengajarkan Toleransi kepada SantriMeski berada di tengah-tengah kawasan Pecinan dan bersebelahan dengan penduduk Kauman sekitar Masjid Jami' Lasem, namun kehidupan santri bisa membaur dengan masyarakat, baik etnis Tionghoa maupun Jawa.
Gapura Pesantren Kauman bahkan dihias dengan kaligrafi Arab dan China, yang menyatukan nuansa Arab-China. Toleransi terhadap penduduk sekitar cenderung tinggi.
Gus Zaim juga membuat
tagline untuk Ponpes Kauman sebagai ponpes yang ramah. Seluruh lembaga di pesantren ini mulai dari PAUD hingga Madrasah Aliyah (MA) mempunyai ciri khas multikultural.
"Saya itu pecinta budaya. Saya tidak suka dengan hal mengubah-ubah (bangunan) jika itu masih bisa dipakai. Bangunan itu menceritakan masa lalunya. Jadi, sejarah akan muncul dari bangunan yang ada tanpa harus bercerita secara langsung secara lisan, tanpa harus ditanya-tanya," kata Gus di kanal
YouTube Gusstrav, dikutip Rabu (26/1/2022).
Gus Zaim menjelaskan, Pesantren Kauman sengaja tak melepas ornamen-ornamen khas China karena ingin melestarikan sejarah. Ia menilai, setiap bangunan lama mempunyai sejarahnya masing-masing.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Maka, kalau ada seperti ini jangan dibongkar. Saya ke sini
kan pendatang, dan di sini
kan kampung China. Tidak ada masalah jika memasang ornamen khas China, itu bagian dari budaya, dan tidak bertentangan dengan agama," ucap Gus Zaim.
Ornamen-ornamen tersebut merupakan wujud toleransi dalam bentuk nyata. Dalam pembelajaran, Gus Zaim juga mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada para santri. Itu berangkat dari prinsip Nahdlatul Ulama (NU) yang memegang teguh tasamuh (toleransi), tawazun (berimbang), dan tawasuth (moderat).
"Contoh-contoh konkret toleransi yang diajarkan kepada santri, misalnya soalan tetangga. Kami bertakziah meskipun tidak seagama. Menghibur tetangga yang tengah sedih merupakan ajaran mulia dari Islam," kata Gus Zaim.
Selain itu, dia selalu menekankan para santri untuk membantu masyarakat meski berbeda agama. Islam mengajarkan umatnya saling membantu.
"Sama halnya jika ada yang kesusahan. Kami bantu apapun agamanya. Islam besar seperti ini karena menghargai perbedaan, bahkan menumbuhkan perbedaan-perbedaan itu. Hal terpenting perbedaan itu tidak mengarah pada perpecahan," ucapnya.
(jqf)