LANGIT7.ID, Jakarta - Baru-baru ini publik dihebohkan dengan pengakuan mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar yang mengaku memiliki gender non-biner, yakni bukan laki-laki maupun perempuan alias gender netral.
Direktur The Center for Gender Studies (CGS), Dr. Dinar Dewi Kania, menilai mahasiswa berinisial MNA itu sudah terpengaruh pemikiran feminisme dan para pendukung Lesbian, Biseksual, Transgender dan Queer (LGBTQ).
“Mahasiswa itu sedang berbicara soal identitas gender yakni ‘queer’ yang fluid. Pendapat ini sebenarnya anti sains dan lebih kepada doktrin,” kata Dinar kepada LANGIT7.ID, Selasa (23/8/2022).
Baca Juga: Waspada, Prancis Akan Kirim Duta LGBT ke Seluruh Dunia
Pemikiran mahasiswa itu lebih kepada doktrin karena menganggap gender dan bahkan jenis kelamin sebagai konstruksi sosial. Meski saat ini ada yang tengah mencoba melegitimasi dengan menyebut identitas gender merupakan fenomena neuro-chemical.
“Tapi ya itu, ini pendapat seperti ini pseudo-science yang dikembangkan untuk mendukung ‘doktrin’ bahwa LGBTQ itu normal,” kata Dinar.
Menurut Dinar, isu tersebut menunjukkan bangsa Indonesia memiliki PR besar terkait moralitas dan nilai-nilai agama yang memang ingin dibongkar oleh gerakan feminist, LGBTQ, dll. Memang, kata dia, semua pihak harus intropeksi diri terkait hal itu.
“Akademisi juga harus diberikan pengetahuan agar bisa secara bijak mengatasi pemikiran semacam ini, dan membantu mereka para pelaku LGBTQ agar bisa kembali ke fitrah,” kata Dinar.
Baca Juga: Aila Nilai Citayam Fashion Week Berubah Jadi Klaster Pergaulan Bebas
Selain peran akademisi dan masyarakat, negara harus mengambil peran untuk melindungi masyarakat dari pemikiran menyimpang semacam itu. Selain itu, negara juga menyediakan ruang bagi para penganut paham tersebut agar bisa sembuh.
“Negara juga harus memiliki aturan yang jelas terkait LGBTQ di Indonesia agar bisa menyediakan pendampingan atau konseling yang dibutuhkan bagi mereka,” pungkas Dinar.
(jqf)