LANGIT7.ID, Yogyakarta - Ketua Umum Pengurus Wilayah Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur,
Emil Dardak, menilai cakupan
ekonomi syariah sangat luas tidak sekadar pada sektor keuangan dan eksklusif untuk muslim saja.
Wakil Gubernur Jawa Timur itu mencontohkan makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari seperti nasi dan teh. Dua produk itu masuk dalam lingkup ekonomi syariah karena memiliki komposisi yang halal.
“Jadi, sebenarnya kehidupan kita sehari-hari sudah ekonomi syariah. Kalau dominan mayoritas masyarakat itu istiqomah ekonomi syariah. Satu-satunya yang belum kan riba atau penyimpangan sosial karena dia melakukan hal-hal yang tidak dihalalkan” kata Emil saat ditemui
Langit7 di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Cara Islami Atasi Resesi: Gunakan Prinsip Ekonomi Syariah
Di sektor produk, tantangan utamanya adalah belum semua produk sudah halal. Maka yang harus dilakukan membuat produk itu agar halal. Ini biasanya ditemukan pada produk-produk olahan seperti obat-obatan, makanan kemasan, hingga kosmetik. Otoritas sertifikasi halal di Indonesia bisa mengambil peran penting dalam hal tersebut.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia memiliki gaya hidup yang agamis. Mengonsumsi makanan halal sudah menjadi keputusan pragmatis di tengah masyarakat. Maka, hal yang perlu diperhatikan adalah membenahi industri halal.
“Kalau kita tidak membenahi industri halalnya, mati lagi. Malah diserbu dari luar. jadi, bukan dengan agama, karena semakin agamisnya masyarakat semakin personal. Walaupun kita negara yang berketuhanan, kita tentunya mendukung setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya dengan sebaik-baiknya. Di situlah ruang negara hadir,” ujar Emil.
Dalam ruang lingkup ekonomi syariah, kehidupan masyarakat Indonesia sebenarnya sudah halal. Tinggal bagaimana mematangkan sendi-sendi ekonomi syariah seperti sertifikasi halal dan praktik bisnis yang sesuai dengan kaidah Islam.
Baca Juga: MUI: Perempuan Berperan Bangkitkan Ekonomi Syariah Lewat UMKM
“Misalnya, menggunakan uang penipuan itu bukan ekonomi syariah, atau praktik bisnis yang mencekik leher, mengeksploitasi pekerja. Jadi, kita mencoba sebenarnya bagaimana mendorong ekonomi yang bermartabat. Itulah cita-cita ekonomi syariah tadi, di samping tadi masalah halal produk,” ungkap Emil Dardak.
Ekonomi Syariah Harus InklusifMenurut Emil, perspektif halal yang inklusif harus didorong di tengah masyarakat. Produk halal tidak bersifat eksklusif untuk muslim saja. Tapi, siapapun bisa menikmati produk-produk halal itu.
“Inklusif ini artinya kita adalah muslim
friendly, tapi tidak kemudian eksklusif muslim
only,” ujar Emil.
Contoh sederhana mengenai perumahan eksklusif muslim. Tentu, hanya masyarakat muslim yang bisa menikmati produk tersebut. Tapi jika dikatakan ‘perumahan memiliki masjid, sekolah TPQ, dan majelis ilmu’ maka siapa saja bisa menikmati produk itu, terutama umat Islam.
Baca Juga: BWI: Nonmuslim Boleh Berwakaf dan Terima Wakaf
“Semua orang bisa tinggal di situ, jadi tidak usah dijadikan muslim
only. Pada saat orang Islam tidak mau bertetangga dengan orang agama lain, kita sudah menyimpang dari Pancasila mas. Iman saya tidak tergerus karena siapa di sebelah saya. Kalau iya bahaya, bagaimana dengan yang merantau di luar negeri?” ungkap Emil.
Menurut Emil, hal tersebut yang perlu dibenahi agar tidak menimbulkan phobia terhadap ekonomi syariah. Phobia itu kerap muncul karena salah kaprah menerjemahkan ekonomi syariah.
“Kalau keuangan jelas,
Islamic Finance jelas, tapi
Islamic economic karena kita negara mayoritas muslim seharusnya sudah ditegakkan, tapi bukan sesuatu yang tidak boleh untuk nonmuslim,” tutur Emil.
(jqf)