LANGIT7.ID, JAKARTA - Ketika berada di alam bebas, tak sedikit yang bingung menentukan arah kiblat ketika hendak melaksanakan salat. Oleh sebab itu, banyak yang melaksanakan ibadah salat dengan memperkirakan sendiri arah kiblat.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ustaz Wildan Hasan mengatakan, jika tidak menemukan cara lain untuk menentukan arah kiblat, maka diperbolehkan untuk menghadap kemana saja sesuai dengan perkiraan.
"Ya solusinya kita menghadap kemana saja yang menurut kita inilah arah kiblat. Salah atau benar itu sudah di luar kuasa kita," kata Ustaz Wildan saat di wawancara
Langit7.id, Rabu (4/1/2023).
Dia menjelaskan, syarat sah salat ialah menghadap sesuai dengan arah kiblat. Namun jika dalam kondisi darurat seperti di dalam hutan belantara, maka ada keringanan yang diberikan dalam agama Islam untuk melaksanakan ibadah salat.
Baca Juga: Tafsir Surat Muhammad Ayat 24: Bahaya Hati yang Terkunci dalam Kemunafikan"Tapi karena situasinya darurat kita tidak tahu mana arah kiblat sama sekali, maka kita boleh menghadap kemana saja sesuai keyakinan kita. Jadi tidak berpengaruh sah atau tidaknya salat, salatnya tetap sah," jelasnya.
Ustaz Wildan pun menjelaskan bahwa salah satu syarat sah salat yakni harus berada di tempat yang bersih dan jauh dari najis. Oleh karena itu jika dalam kondisi darurat, maka diperbolehkan salat tanpa sajadah dengan pertimbangan tempat yang dijadikan sebagai lokasi salat tersebut bersih dari najis.
Dia menyebut, pada asalnya tidak ada keharusan menggunakan alas untuk salat. Yang terpenting dalam Islam syarat sah salat adalah sucinya tempat beribadah dari najis.
"Pada zaman Rasulullah SAW, alasnya adalah pasir itu sendiri, alas masjid itu. Pada saat itu belum ada lantai, mereka pakai pasirnya itu sendiri," ujar dia.
"Kalau kita tidak ingin terkotori oleh tanah padahal tanahnya bersih, di tempat terbuka kita tidak bawa sajadah, boleh pakai baju boleh jaket boleh pakai jas kita untuk alasnya. Yang penting alas tersebut tidak terkena najis," imbuhnya.
Ustaz Wildan mengungkapkan, ada keringanan lainnya dalam kondisi darurat ketika safar yakni dengan menggunakan alas kaki atau sepatu ketika melaksanakan salat di tempat terbuka.
Pernyataan tersebut sebagaimana tertuang dalam hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, beliau menyatakan:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا
"Saya melihat Rasulullah SAW terkadang salat dengan tidak beralas kaki dan kadang salat dengan memakai sandal." (HR Abu Daud 653, Ibnu Majah 1038).
Sahabat al-Mughirah bin Syu’bah RA menceritakan, beliau pernah bersafar bersama baginda Nabi SAW. Ketika Nabi SAW mengambil wudhu, al-Mughirah bin Syu’bah RA menunduk untuk melepaskan alas kaki Nabi SAW, namun Nabi SAW melarangnya dan berkata:
دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ
Biarkan dia, karena saya memakainya dalam kondisi suci. Kemudian Nabi SAW mengusapnya. (HR Bukhari nomor 206 dan Muslim 655).
Baca Juga: Masjidil Haram Siap Hadapi Musim Hujan, Jamaah Tetap Berhati-hati"Jadi orang salat saat melakukan safar itu bisa di mana saja (tempat yang bersih dari najis), di kebun, di padang pasir dan lain sebagainya sehingga tidak perlu membuka alas kaki," tutur Ustaz Wildan.
Ustaz Wildan menerangkan, namun ketika melakukan safar dan melaksanakan salat di suatu tempat berupa bangunan seperti masjid ataupun musala, diharuskan membuka alas kaki agar tidak mengotori lantai bangunan yang bersih.
"Sekali pun kebolehan itu tidak hilang, tapi kita tidak mungkin juga lagi safar lalu mampir salat di suatu masjid tidak membuka sepatu, itu tidak boleh," ujarnya.
(zhd)