LANGIT7.ID-, Jakarta- - Puasa enam hari pada bulan
Syawal memiliki keutamaan yang istimewa. Namun, manakah yang harus didahulukan puasa sunnah enam hari Syawal atau mengganti puasa Ramadhan yang terlewat (qadha Ramadhan)?
Dari Abu Ayub Al Anshari, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR Muslim)
Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat, mengatakan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai boleh tidaknya berpuasa sunnah Syawal jika masih memiliki utang puasa Ramadhan.
Sebagian ulama mengatakan, boleh melakukan puasa sunnah Syawal meskipun masih memiliki utang puasa Ramadhan, namun ada juga yang mengatakan bahwa tidak boleh melakukan puasa sunnah Syawal lebih dahulu jika masih memiliki qadha puasa Ramadhan.
Baca juga:
Keutamaan Puasa Syawal, 6 Hari Dibalas 1 Tahun Puasa“Terdapat tiga pendapat yang berbeda dari para ulama tentang hukum puasa sunnah Syawal dan puasa qadha Ramadhan,” kata Ustadz Ahmad Sarwat di laman Rumah Fiqih Indonesia.
Pendapat pertama, boleh tanpa karahah dan didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah. Mazhab tersebut mengatakan bahwa orang yang memiliki utang puasa Ramadhan masih boleh melakukan puasa sunnah, termasuk puasa enam hari di bulan Syawal.
“Hal ini merujuk pada kewajiban puasa qadha yang bersifat tarakhir, yakni boleh ditunda atau diakhirkan hingga menjelang masuknya bulan Ramadhan tahun berikutnya,” ujar Ustadz Sarwat.
Pendapat kedua berasal dari mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah, yang mengatakan seseorang tidak apa-apa jika mendahulukan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal dan menunda qadha puasa Ramadhan yang wajib. Namun, hal tersebut dianggap kurang disukai (kurang afdhal).
Sementara itu, pendapat ketiga dari mazhab Al-Hanabilah justru mengharamkan puasa sunnah sebelum membayar utang qadha puasa. Hal ini merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
"Siapa yang berpuasa sunnah padahal dia memiliki hutang qadha puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, maka puasa sunnahnya itu tidak sah sampai dia bayarkan dulu puasa qadhanya" (HR Ahmad). Namun, Ustadz Sarwat menjelaskan bahwa sebagian ulama meragukan kekuatan hadits tersebut.
Menurut Ustadz Sarwat, tidak ada keharusan untuk merasa paling benar dalam menentukan pendapat yang dianut, karena hukum sendiri memiliki beberapa pendapat yang berbeda. Oleh karena itu, semua pendapat tersebut boleh saja dilakukan. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa membayar hutang qadha puasa Ramadhan harus tetap menjadi prioritas utama.
Sementara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui artikel yang ditayangkan laman MUI pada Mei 2022 memberikan tiga arahan bagi orang yang punya utang puasa jika ingin puasa Syawal. Tiga cara itu di antaranya:
Pertama, menqadha puasa lebih utama didahulukan daripada puasa Syawal, sebab amalan sunah tidak akan diterima jika amalan wajib belum ditunaikan. Bagi mereka yang kuat berpuasa dan tidak punya halangan syar’i seperti sakit, musafir, atau haid sebaiknya melakukan pandangan pertama ini.
Kedua, boleh mendahulukan Syawal daripada qadha puasa. Sebab, sekalipun puasa qadha hukumnya wajib, namun dari segi waktu sifatnya muwassa’ (fleksibel) hingga Ramadhan berikut.
Sementara puasa Syawal sifatnya mudhayyaq (terbatas) di bulan Syawal saja. Bagi mereka yang khawatir pada dirinya ada halangan syar’i seperti musafir, haid, sakit, atau bahkan pekerjaan berat, sementara ia tidak mau menggabungkannya, maka boleh mendahulukan puasa Syawal daripada puasa Qadha.
Ketiga, boleh menggabungkan niat dua puasa yang nilai hukumnya berbeda yakni wajib dan sunah. Jadi, puasa Syawal diikutkan dalam niat puasa Qadha. Artinya, puasa qadha dilakukan pada bulan Syawal dengan mengharap pahala bulan Syawal sebagaimana yang tersebut dalam hadits tentang keutamaan Syawal. Pendapat ini bagi mereka yang memang biasanya berpuasa amat sulit dilakukan karena berbagai faktor.
(ori)