Peneliti di Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS), Ahmad Kholili Hasib, menjelaskan, kekeliruan memahami ajaran agama bisa menyebabkan perpecahan umat beragama. Kedatangan Nabi Muhammad SAW dengan membawa risalah Islam, salah satu misinya menyatukan kembali umat beriman dalam satu risalah yang sempurna.
Setelah masa Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS, bani Israil dan umat manusia secara umumnya kehilangan petunjuk kebenaran. Kitab-kitab suci mereka ubah (tahrif), sehingga orisinalitas tidak dapat dilacak lagi.
"Akibatnya, penyembahan kepada Allah Swt dicampur dengan kepercayaan-kepercayaan yang tidak pernah dikenal oleh para nabi-nabi sebelumnya. Manusia terpecah-pecah menjadi kepercayaan dan keyakinan bermacam-macam. Saling memusuhi dan bersaing," kata Kholili melalui akun media sosialnya, dikutip Sabtu (29/7/2023).
Islam merupakan agama yang mengajak untuk saling bersaudara, mencintai, dan berkasih-sayang dan mencegah untuk berpecah-belah dan bermusuhan. Permusuhan dan perpecahan bani Israil karena penyimpangan mereka dari kitab suci nabi-nabi mereka.
"Tidak ada permusuhan dalam sejarah, kecuali setelah mereka men-tahrif kitab sucinya," ujar Kholili.
Dalam konteks internal agama Islam, terjadinya permusuhan dan perpecahan juga dipicu oleh salah mengambil dalil teks. Dalil kadang dipahami secara sempit, yaitu adanya dzahir nas (teks) baik dari Al-Qur’an maupun dari hadis.
Maka, amalan apapun yang tidak ada dzahir teks maka divonis menyimpang (bid’ah). Amalan yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW adalah haram untuk dilakukan umat zaman ini. Sesat, bid’ah dan menyalahi Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tentu saja ini pandangan yang salah kaprah.
Prof. Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki (Sayid al-Maliki) dalam buku Manhajus Salaf fi Fahmi an-Nusus mensinyalir, banyak umat Islam yang tidak mengetahui kaidah yang bernama “adamu tsubuti al-fi’li” (tidak adanya ketetapan perilaku Nabi Saw).
Sayid al-Maliki menegaskan, tidak adanya pekerjaan Nabi Muhammad SAW bukanlah dalil. Atau tidak adanya dalil teks sebetulnya bukan dalil itu sendiri. Nabi Muhammad SAW tidak melakukan sesuatu pekerjaan itu tidak selalunya pasti larangan. Tetapi bisa mengandung beberapa maksud:
Pertama, Nabi SAW tidak melakukan sesuatu disebabkan karena kebiasaan (‘adah), bukan larangan. Misalnya, ketidak beliau dihidangkan makanan hewan dhabb. Beliau tidak memakannya. Para sahabat bertanya: apakah ini haram wahai Nabi Saw? Jawab Nabi: Tidak. Akan tetapi daging hewan itu bukan makananku.
Kedua, Nabi Muhammad SAW kadang meninggalkan sesuatu karena lupa. Pernah suatu ketika shalat yang mestinya sujud sahwi tapi beliau tidak melakukan. Kemudian beliau ditanya: Apakah ada sesuatu dalam shalat ini wahai Nabi?”. Nabi Saw menjawab: Saya manusia biasa seperti kalian. Saya bisa lupa sebagaimana kalian juga lupa”.
Ketiga, Nabi Muhammad SAW meninggalkan sesuatu karena khawatir menjadi hukum wajib bagi umatnya. Seperti shalat tarawih. Nabi Muhammad SAW ditanya oleh para sahabat, kenapa beliau tidak lagi melaksanakan shalat tarawih. Nabi menjawab: “Aku khawatir shalat ini diwajibkan kepada kalian”.
Keempat, Perbuatan tidak lakukan Nabi Saw karena tidak terfikir dalam hati Nabi Saw. Nabi Saw dulu khutbah tidak ada mimbar. Ketika diusulkan oleh para sahabat untuk khutbah di mimbar, maka Nabi setuju para sahabat membuatkannya mimbar dari tanah.
Sayid al-Maliki juga menambahkan, terkadang para sahabat tidak mengerjakan sesuatu perbuatan itu karena ada udzur, sebab tertentu yang bukan larangan, atau perbuatan itu ditinggalkan karena ada sesuatu yang lebih utama.
Menurut para ulama ushul yang dinamakan sunnah adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Adapun perkara yang tidak dilakukan nabi tidak dimasukkan sunnah. Bukti bahwa “at-tarku” (tidak dikerjakannya suatu perbuatan oleh Nabi saw) bukan dalil bahwa, para ulama sepakat yang dinamakan dalil itu adalah: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, dan qiyas. Adapun “at-tarku” bukan lah dalil.
Oleh sebab itu, menurut Sayid al-Maliki, pengharaman sesuatu mestinya merujuk kepada dalil (al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma, dan qiyas.). Bukan dengan konsep “at-tarku”. Sebab, tidak adanya suatu perbuatan di zaman nabi dan sahabat tidak semestinya otomatis haram. Sebab, halal dan haramnya suatu perbuatan harus merujuk kepada empat dalil tersebut.
Bahkan cabang atau ranting itu tidak hanya pada soal fikih ubudiyah, tetapi dalam aqoid ada cabangnya. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh imam al-Ghazali dalam “Faishalut At-Tafriqah”, bahwa isu tentang sifat-sifat Allah sering dijadikan media mengkafirkan kelompok lain, khususnya madzhab Asyari yang mendapatkan tuduhan tidak ilmiyah.
"Padahal, yang diterangkan bukan isu pokok agama, tetapi cabang dalam masalah sebagian keyakinan. Oleh sebab, itu isu-isu demikian harusnya diselesaikan dengan ilmiyah, tanpa caci, tanpa fanatik. Bersama-sama merujuk kepada para ulama terdahulu. Persatuan bisa dicapai dengan metodologi ilmiyah," ucap Kholili.
(ori)