LANGIT7.ID, Jakarta -  Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka telah meninggal dunia pada 24 Juli 1981 silam. Namun ia hidup dalam keabadian pikiran manusia, terutama masyarakat terdidik yang selalu menghormati para ulama dan ilmuwan besar masa lalu.
Menurut pengajar filsafat, Rocky Gerung, pikiran-pikiran Hamka saat ini bisa dipergunakan untuk menjawab masalah-masalah kontemporer dan dalam upaya menerangkan ulang keadaan bangsa. Hamka memang tak lagi bisa berbicara langsung, namun buah pikirannya bisa dikomparasikan dengan keadaan saat ini.
![Rocky Gerung: Hamka adalah Simbol Moral yang Tepat untuk Mengevaluasi Bangsa]()
“Kita mau lihat apa yang akan diucapkan melalui fasilitas filsafat moral, terutama pemikiran Hamka tentang keadaan bangsa ini,” ucap Rocky Gerung dalam webinar yang digelar UHAMKA, Selasa (31/8/2021).
Pikiran Hamka adalah pikiran seorang modernis. Dia berupaya mencari keseimbangan antara dunia yang berubah dan aqidah yang final. Itu adalah khas seorang pemikir. Hamka berurusan dengan perkembangan peradaban, perkembangan kebudayaan, perkembangan bangsa.
“Kita mau ukur apa yang masih bisa kita ucapkan per hari ini dengan memanfaatkan cara berpikir Hamka. Tentu kita bisa temukan sinyal-sinyal di seluruh karya Hamka, bahwa dia risau dengan keadaan sekarang, karena mesti menghubungkan antara apa yang sudah final di dalam agama, dan apa yang masih bisa diucapkan sebagai pertengkaran moral,” kata Rocky.
Dia mencontohkan hukuman administratif yang diberikan kepada salah seorang Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli, karena melanggar etik. Jika masih hidup, Hamka sudah pasti mengkritik KPK. Keterangan itu didapatkan ketika menghubungkan moralitas ala hamka terutama tata bernegara dengan keadaan saat ini. Tentu Hamka mengkritik dengan cara sastrawi, karena dia fasih dengan retorik dan penggunaan istilah.
“Jadi keadaan menunjukkan bahwa dimensi-dimensi moral, yang pernah diterangkan oleh Hamka dalam upaya membersihkan bangsa ini sekarang tidak bisa lagi direlevansikan. Jadi, kita menguburkan Hamka dua kali,” kata Rocky.
Namun pikiran Hamka tetap bisa dipakai untuk mempersoalkan keadaan moralitas bangsa hari ini. Jadi, selalu ada relevansi untuk melihat lagi. Bagi Hamka, moral mendahului seluruh pertimbangan politis. 
Hamka Sebagai Seorang Modernis Sekaligus MoralisHamka selain seorang modernis yang berupaya menghubungkan problem masa kini dengan cara berpikir islami, dia juga seorang moralis yang teguh pada jalan pikiran integritasnya. Atas dasar itu, dia mengundurkan diri dari jabatan kenegaraan sebagai Ketua MUI pada 1981, karena berselisih secara moral dengan kekuasaan.
“Sifat kenegarawanan Hamka bisa diujikan pada persoalan bangsa. Dari situ bisa ditemukan relevansi Hamka terhadap perkembangan kemanusiaan dan perkembangan kenegaraaan hari ini. Tentu bagi Hamka, tauhid
 first,” kata Rocky.
Kendati belum menjadi muslim, Rocky Gerung melihat tauhid adalah energi utama dari moralitas Hamka. Rocky menyebut bagi Hamka, tauhid adalah yang utama. Lalu bila masih ada problem yang belum selesai, Hamka memakai filsafat. Sisa dari hal rahasia yang tidak bisa diterangkan karena perkembangan peradaban, itu yang diulas melalui fasilitas-filsafat. Sebab bagi Hamka filsafat itu adalah peralatan berpikir. 
Hamka menggunakan filsafat untuk menganalisa hal-hal yang tidak bisa dipahami secara absolut, karena perkembangan peradaban. Di situ bisa berhubungan dengan teori di dalam metodologi filsafat seperti hermeneutika, ijtihad, dan lain sebagainya.
Hamka adalah simbol moral yang tepat untuk dipakai mengevaluasi bangsa. Kemampuan rasional Hamka tidak bisa dibandingkan dengan filsafat barat, karena barat tumbuh dengan politik yang mempertanyakan segala hal. Hamka tidak mempertanyakan segala hal, yang final ia terima sebagai keutuhan moral.
Tetapi, bagian yang masih dipertengkarkan atau bagian muamalah itu yang terus dijadikan pelajaran dan dituntun oleh kurikulum etik. Ini yang menjadi permasalahan, karena bangsa ini tidak memiliki kurikulum etik. 
“Kita berhutang kepada Hamka karena dia menuntun kita pada kurikulum etik yang basisnya agama. Hamka tidak menghendaki kebebasan absolut manusia yang dieksploitasi hanya demi kebebasan. Karena hamka itu tauhid 
first,” ucap Rocky.
Membawa Pemikiran Hamka ke Masa KiniHamka memang tidak hidup di era post-modernisme. Namun sikap Hamka bisa dibawa dari masa lalu untuk digunakan pada masa kini. Basis pemikiran hamka tentu didasarkan pada masa kecilnya. Dia mengalami kegelisahan sebagai anak muda, karena melihat hubungan antara agama dan adat yang begitu ketat.
Dari situ Hamka mengalami pemberontakan eksistensial. Setelah itu, dia pindah ke Yogyakarta dan bergaul dengan kaum sekuler. Dia terus mencari makna apa yang bisa diucapkan, sehingga buku-bukunya selalu mengandung pertanyaan epistemologi dan pertanyan estetis, sekaligus pertanyaan aksiologi tentang falsafah hidup, lalu dituangkan itu dalam upaya untuk mengeksplorasi jauh kemampuan imajinasi manusia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah Hingga Tenggelamnya Kapal van Der Wijck.
“Jadi, kita melihat perubahan hamka berlangsung karena dia bertemu dengan problem bangsa. Hamka bukan seorang Filsuf yang tinggal di Menara gading, dan berupaya mengevakuasi dari ketinggian. Dia terlibat dalam politik praktis, dan dia selalu menganggap bahwa pikirannya harus mampu untuk menyapa masyarakat luas,” ucap Rocky.
Maka dia memilih untuk jadi jurnalis. Itu inti alasan sejak awal Hamka menumbuhkan pikiran melalui tulisan. Dia kemudian berlanjut sebagai guru agama, karena dia tahu bahwa basis dari berpikir liar bisa dikurangi jika ada basis agama. 
Sekarang ada Universitas Hamka (UHAMKA) yang berupaya mengajarkan mahasiswa hal-hal yang bersifat Teknis. Namun jarang menerangkan hal yang bersifat etik.  Ini problem, karena memang tidak ada kurikulum untuk mengaitkan hal teknis dan etis. 
“Jadi, UHAMKA harus mempelopori ini, yang bersifat logika dan bersifat batin. Kenapa? Karena kita hidup di dunia yang sekarang penuh dengan tanda Tanya, setelah covid dunia ini semacam apa? Apakah perekonomian dunia masih berlangsung melalui fasilitas neoliberalisme, tentu itu bukan pertanyaan Hamka, tetapi moral di balik problem ini ada pada Hamka,” tutur Rocky.
Hamka ingin melihat kesetaraan manusia di dalam pergaulan sosial, sekaligus melihat ada hirarki etis dalam pergaulan itu. Lalu hirarki itu ditentukan oleh kedudukan agama sebagai faktor kunci.  Misalnya, soal lingkungan hidup. Hamka melihat lingkungan hidup sebagai bagian religius dalam kehidupan. Satu batang pohon memiliki status sebagai makhluk. Merusak lingkungan hidup berdosa. 
“Kita selalu membayangkan bagaimana sinisme Hamka kalau beliau masih hidup. Hamka adalah simbol dan guru moral. Dia menghendaki agar pikiran dipergunakan untuk mempersoalkan hal-hal yang bisa dipersoalkan, bukan hal-hal yang sudah final,” pungkas Rocky.
(jqf)