Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 26 Oktober 2025
home masjid detail berita

Ulama saat Kerusuhan: Dipanggil Saat Mesin Mogok, Disingkirkan Ketika Jalan Mulus

miftah yusufpati Senin, 01 September 2025 - 04:15 WIB
Ulama saat Kerusuhan: Dipanggil Saat Mesin Mogok, Disingkirkan Ketika Jalan Mulus
Prabowo memanggil sejumlah ormas Islam ke Hambalang, Bogor. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden)
LANGIT7.ID-Jakarta, Sabtu pagi, 30 Agustus 2025. Massa memenuhi jalanan, spanduk protes terangkat, dan media sosial gaduh oleh seruan aksi. Telepon genggam berdering. Nama-nama kiai besar, pimpinan ormas, dan dewan fatwa masuk dalam daftar panggilan cepat. Pemerintah tahu, hanya mereka yang punya legitimasi moral untuk meredakan gelombang.

Pemandangan seperti ini bukan sekali dua kali terjadi. Dari kerusuhan Mei 1998, konflik Poso, hingga Aksi 212, ulama hadir sebagai “pemadam kebakaran”. Mereka turun, bicara di podium, atau mengeluarkan fatwa menenangkan. Krisis pun reda. Tapi, ketika mesin kekuasaan kembali melaju, ulama sering ditinggalkan, tak lagi dilibatkan dalam pengambilan kebijakan strategis.

Fenomena ini bukan sekadar persepsi. Sejarah dan penelitian akademik mencatat pola yang sama: negara memanfaatkan legitimasi agama ketika butuh, lalu meminggirkan ulama setelah stabil.

Noorhaidi Hasan, dalam bukunya Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post–New Order Indonesia, menyebut praktik ini sebagai “instrumentalisasi agama”—penggunaan tokoh agama untuk kepentingan politik jangka pendek (Cornell University Press, 2006).

Baca juga: Demi Selamatkan Partai, Syahroni dan Nafa Urbach Dipecat Nasdem dari DPR Oleh DPP Nasdem

Pola Lama dalam Baju Baru

Pada masa Orde Baru, pola ini jelas. Pemerintah merangkul sebagian elit Islam yang patuh, sekaligus menekan mereka yang kritis. Politik agama dikelola ketat melalui patronase. Ulama yang sejalan diberi ruang, yang menentang ditekan (The New Yorker, 1969).

Reformasi mengubah panggung, tapi tidak polanya. Setelah 1998, ketika negara limbung, ulama kembali dipanggil. Konflik komunal di Ambon dan Poso memperlihatkan peran ulama sebagai penengah. Fatwa mereka menenangkan massa, menjaga agar api tak makin membesar. Tapi, setelah situasi normal, peran itu menguap. Kebijakan strategis jarang melibatkan mereka secara substansial.

Greg Fealy, peneliti dari Australian National University, menyebut ini sebagai “kemunduran politik ulama tradisional”—bukan karena otoritas moralnya hilang, tetapi karena struktur politik yang berubah, menyingkirkan mereka dari pusat pengambilan keputusan (JSTOR, 2012).

Ulama sebagai Modal Simbolik

Clifford Geertz, antropolog legendaris, sudah menulis soal ini sejak lama. Dalam The Religion of Java, ia menggambarkan agama sebagai “penjaga makna” dalam masyarakat Jawa. Ketika negara kehilangan narasi, ia meminjam legitimasi itu dari ulama (Geertz, 1960).

Tapi agama bukan satu suara. Ada santri, abangan, dan priyayi. Negara memilih suara yang “nyaman” baginya. Ulama yang patuh dirangkul, yang kritis disingkirkan. Hasilnya: ulama yang muncul ke publik sering sekadar simbol. Mereka bicara damai ketika krisis, tapi tak punya daya ketika kebijakan ditentukan.

Konsekuensinya? Publik cepat mencium sifat instrumental ini. Kepercayaan pada institusi negara—dan bahkan pada sebagian ulama—bisa terkikis.

Baca juga: PBNU: Jaga Kondusivitas dan Loyalitas Terhadap Kepemimpinan Prabowo Subianto

Studi Kasus: Dari Fatwa ke Pinggiran

Awal 2000-an, ketika konflik komunal membara, banyak ulama terlibat mediasi. Noorhaidi Hasan mencatat, sebagian ulama dimanfaatkan oleh aktor politik dan jaringan transnasional untuk mobilisasi. Setelah situasi aman, mereka kembali ke pesantren, sementara elit politik melanjutkan agenda masing-masing.

Kasus serupa terlihat saat Aksi 212 pada 2016. Ulama menjadi motor gerakan, tampil sebagai simbol moral. Tapi setelah aksi bubar, ruang politik kembali dikuasai elit partai. Ulama tak masuk dalam lingkar kekuasaan, kecuali mereka yang bersedia masuk dalam struktur formal.

Mengapa pola ini bertahan? Ada beberapa alasan:

1. Kebutuhan cepat. Dalam krisis, legitimasi ulama lebih efektif daripada reformasi kebijakan yang butuh waktu.
2. Risiko berbagi kekuasaan. Memberi peran permanen ke ulama bisa memicu tuntutan perubahan struktural yang mengancam status quo.
3. Fragmentasi. Dunia ulama tidak monolitik. Pemerintah bisa memilih siapa yang mau diajak.
4. Keterbatasan institusional. Banyak ormas fokus pada pendidikan dan dakwah, bukan teknokrasi kebijakan.

Baca juga: Duka Presiden Prabowo untuk Affan Kurniawan, Ojol Korban Rantis Brimob

Jalan Keluar: Kemitraan, Bukan Simbol

Para ahli menawarkan solusi. Negara harus membangun mekanisme konsultasi formal yang berkelanjutan, bukan sekadar undangan saat darurat. Ormas dan pesantren juga perlu meningkatkan kapasitas kebijakan publik agar suara mereka lebih dari sekadar moral, tetapi juga teknis.

Seperti kata Khaled Abou El Fadl, otoritas agama yang kredibel lahir dari ilmu, moralitas, dan independensi. Tiga hal ini harus dijaga jika ulama ingin jadi mitra negara, bukan sekadar dongkrak darurat.

Selama negara hanya melihat ulama sebagai alat pemadam kebakaran, demokrasi kita berjalan di atas bara. Ketika krisis datang, mereka dipanggil. Ketika bara padam, mereka ditinggalkan. Padahal, bila kemitraan ini dibangun secara sejajar, bukan hanya ulama yang diuntungkan. Negara pun punya legitimasi yang lebih kokoh. Bukan pinjaman, tapi milik bersama.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 26 Oktober 2025
Imsak
04:01
Shubuh
04:11
Dhuhur
11:40
Ashar
14:52
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan