LANGIT7.ID-, Jakarta- -  Islam memiliki defenisi tersendiri terkait kekayaan dan kemiskinan. Ada orang yang secara finansial dianggap miskin, namun sebenarnya dia kaya raya. Demikian pula sebaliknya, ada orang yang bergelimang harta, tapi faktanya miskin. 
Ketika masyarakat merasa puas dengan harta yang sedikit, pasti tidak akan ada lagi masyarakat miskin. Ketika seorang hamba merasa puas dengan rezeki yang diberikan kepadanya, maka dia tidak lagi membutuhkan orang lain, dan akan menjadi mulia meskipun tidak memiliki banyak harta duniawi.
Mengutip Islamweb, Rasulullah SAW telah membimbing umatnya untuk menjadi qana`ah, “Berpuaslahlah dengan apa yang Allah bagikan kepadamu, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya.” 
Bahkan Rasulullah SAW berdoa kepada Allah, “Ya Allah, berilah aku kualitas qanâ`ah atas semua rezeki yang Engkau berikan, dan berilah keberkahan padanya, dan gantilah segala sesuatu yang hilang dariku dengan kebaikan."
Orang yang qana`ah akan mempunyai jiwa yang tenang, selalu bahagia dan damai. Itu arena dia tidak akan pernah melihat apa yang menjadi milik orang lain, tidak akan merindukan apa yang tidak dimiliki, sehingga ia dicintai oleh Allah dan dicintai manusia. 
Rasulullah SAW bersabda: “Bertapalah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan bertapalah terhadap apa yang ada di tangan manusia, maka kamu akan dicintai manusia."
Seorang hamba tidak akan sampai pada derajat orang-orang yang bersyukur kecuali merasa puas dengan rezeki yang didapatnya. Rasulullah bersabda kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang shaleh, niscaya kamu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang yang qanâ`ah, niscaya kamu akan menjadi hamba yang paling bersyukur, dan cintailah orang sebagaimana kamu mencintai diri sendiri, niscaya kamu akan menjadi orang yang beriman.”
Seorang manusia qana`ah harus menjaga harga diri. Dia tidak akan menjual wajahnya hanya untuk meminta kenikmatan dunia yang pasti akan hilang. Mereka itulah orang-orang yang dipuji oleh Allah.
“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)
Orang-orang seperti ini mendapat kabar gembira dari sebaik-baik manusia, Rasulullah dalam sabdanya, “Beruntunglah orang yang masuk Islam dan diberi rezeki yang cukup, dan Allah memberinya kualitas qana’ah (merasa cukup) rezeki yang diterimanya.”
Umar binul Khattab berkata, “Keserakahan itu kemiskinan dan putus asa (tidak berharap banyak) itu kaya. Karena orang yang tidak mengharapkan apa yang menjadi milik orang lain berarti tidak membutuhkannya.”
Salah satu kisah yang menakjubkan mengenai hal ini adalah kisah yang disebutkan dalam kitab Ihya' Ulumiddin bahwa Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidy menolak menjadi pendidik bagi putra gubernur distrik Ahwaz. Dia mengambil sepotong roti kering dan menunjukkannya kepada utusan yang menawarinya pekerjaan itu, sambil berkata, "Selama saya memiliki ini, saya tidak akan membutuhkan Sulaiman (gubernur)."
Benarlah sabda Rasulullah SAW, “Orang yang benar-benar kaya bukanlah harta benda, tetapi orang yang kaya adalah jiwa.”
(ori)