Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 26 Oktober 2025
home masjid detail berita

Ekonomi Amanah: Ketika Harta Bukan Milik Manusia

miftah yusufpati Ahad, 26 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Ekonomi Amanah: Ketika Harta Bukan Milik Manusia
Dalam Islam tak ada kepemilikan mutlak. Harta hanyalah titipan Allah, amanah yang harus dijaga dan digunakan demi keadilan serta kemaslahatan sosial. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Dalam masyarakat modern yang diatur oleh logika pasar, harta menjadi ukuran nilai manusia. Kekayaan diidentikkan dengan kecerdasan, kerja keras, bahkan keberkahan. Sementara kemiskinan, sering dianggap kesalahan pribadi. Tapi Islam, lewat pandangan ekonominya yang berakar dalam spiritualitas, menghadirkan tafsir yang jauh berbeda: bahwa tidak ada manusia yang benar-benar memiliki harta. Semua hanyalah pinjaman dari Allah.

Pemikiran itu digali oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama asal Mesir yang banyak membahas sistem sosial-ekonomi Islam dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (Citra Islami Press, 1997). Qardhawi menulis, “Sesungguhnya harta itu milik Allah, dan manusia hanyalah pemegang amanah.”

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu.” (Al-Hadid: 7)

Ayat itu menjadi fondasi utama ekonomi Islam: **kepemilikan bukan hak absolut, melainkan tanggung jawab moral.**

Dalam pandangan Islam, manusia bukan pencipta harta — hanya pengelola. Segala sumber daya, kekayaan alam, bahkan kemampuan untuk mengusahakan rezeki, semuanya berasal dari Tuhan. Qardhawi menegaskan, “Manusia hanyalah wakil (khalifah) di muka bumi, bukan pemilik sejati.”

“Dan kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.” (An-Najm: 31)

Pandangan ini menegakkan prinsip anti-egoisme ekonomi, menolak kesombongan seperti yang diucapkan Qarun dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya aku diberi harta ini hanya karena ilmuku.” (Al-Qashash: 78)

Bagi Qardhawi, ucapan itu adalah simbol dari ideologi modern: kepercayaan bahwa keberhasilan materi lahir semata dari kemampuan manusia. Islam, kata dia, justru menolak pandangan seperti itu — karena menafikan dimensi spiritual dari rezeki.

Kekayaan Sebagai Tugas Sosial

Harta, dalam kerangka Islam, bukan milik pribadi yang bebas digunakan sesuka hati. Ia harus “dikelola sesuai instruksi Pemilik Asli.” Dalam istilah Qardhawi, manusia hanyalah amin atau orang yang dipercaya menjaga titipan.

Di sini, ekonomi menjadi ibadah sosial. Orang kaya bukan penguasa, melainkan*khuzzanullah — bendahara Allah — sebagaimana dikatakan Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya. “Sesungguhnya orang-orang fakir adalah keluarga Allah, dan orang-orang kaya adalah penyimpan harta Allah.”

Analogi itu sederhana tapi tajam: sebagaimana seorang raja bisa memerintahkan bendaharanya untuk menyalurkan dana kepada rakyatnya, begitu pula Allah menuntut agar manusia menyalurkan sebagian hartanya kepada sesama. Karena pada dasarnya, yang miskin bukan orang lain — mereka adalah “keluarga Allah” yang wajib dipelihara.

Namun, manusia kerap tergelincir. Sejak masa Nabi Syu’aib, sebagaimana dicatat dalam surah Huud ayat 84-85, manusia sering menolak aturan ilahi dalam urusan harta. Mereka berseru: “Apakah agamamu melarang kami mempergunakan harta kami sesuka hati?”

Kalimat itu, menurut Qardhawi, adalah bentuk pembangkangan klasik terhadap konsep amanah. Manusia merasa berhak penuh atas miliknya — padahal, dalam pandangan Islam, harta yang digunakan tanpa mempertimbangkan keadilan sosial adalah pelanggaran terhadap mandat ilahi.

Karena itu, Islam melarang keserakahan, manipulasi pasar, dan penimbunan harta. Prinsipnya sederhana: pemilikan pribadi sah, tapi harus tunduk pada kepentingan publik.

Lebih Maju dari Sosialisme Barat

Qardhawi menulis dengan nada kritis terhadap teori-teori sosial Barat yang baru belakangan bicara tentang “fungsi sosial kepemilikan.” Ia menyebut, jauh sebelum Marx berbicara tentang distribusi ekonomi, Islam sudah menegaskan bahwa kekayaan memiliki tanggung jawab sosial. “Dengan kaidah emas ini,” tulis Qardhawi, “Islam telah mendahului ilmuwan sosial Barat dalam membangun konsep kesejahteraan dan keadilan ekonomi.”

Artinya, Islam tak menolak kekayaan, tapi mengikatnya dengan nilai moral. Harta tidak boleh membuat manusia lalai, seperti diingatkan dalam Al-Qur’an: “Janganlah harta dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah.” (Al-Munafiqun: 9)

Pandangan ini, dalam konteks modern, terasa kontras dengan semangat kapitalisme yang memuja kepemilikan absolut. Di tengah dunia yang menilai keberhasilan lewat jumlah aset dan laba, Qardhawi mengingatkan bahwa ukuran keberkahan justru ada pada cara manusia mengelola harta itu untuk kemaslahatan.

Ekonomi Islam, dalam kerangka ini, bukan sekadar sistem finansial, tapi juga sistem moral. Ia menuntut keseimbangan antara produksi dan pengabdian, antara keuntungan dan keadilan, antara hak dan tanggung jawab. Harta, tulis Qardhawi, adalah alat ujian. Jika digunakan sesuai kehendak Tuhan, ia menjadi berkah. Jika disalahgunakan, ia menjadi fitnah.

Bagi Qardhawi, inti dari ekonomi Islam adalah kesadaran spiritual bahwa manusia tidak memiliki apa pun secara mutlak. “Kita hanya memegang titipan,” tulisnya. “Dan setiap titipan akan dimintai pertanggungjawaban.”

Di tengah dunia yang semakin materialistik, pesan ini terasa seperti napas segar dari masa lalu — sebuah pengingat bahwa kesejahteraan sejati bukan tentang seberapa banyak kita punya, tapi seberapa benar kita menjaga apa yang dipinjamkan.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 26 Oktober 2025
Imsak
04:01
Shubuh
04:11
Dhuhur
11:40
Ashar
14:52
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan