LANGIT7.ID-Di banyak peradaban kuno, harta dianggap sumber dosa. Para rahib memuja kefakiran sebagai jalan keselamatan. Orang suci digambarkan sebagai mereka yang meninggalkan dunia, menolak kemewahan, dan menjauh dari kenikmatan materi. Namun, Islam datang dengan pandangan yang jauh lebih realistis — dan revolusioner: bahwa kekayaan bukan kutukan, melainkan amanah.
Pemikiran itu diurai tajam oleh Syaikh Yusuf Qardhawi dalam karyanya
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (Citra Islami Press, 1997). Menurut ulama besar asal Mesir itu, Islam adalah agama yang menempatkan harta sebagai “kebaikan di tangan orang-orang baik”. Ajaran ini sekaligus menantang dua ekstrem: kaum spiritualis yang memusuhi dunia, dan kaum materialis yang menuhankan harta.
“Sebaik-baik harta,” kata Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang dikutip Qardhawi, “adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang saleh.”
Sebelum Islam datang, dunia mengenal dua kutub ekstrem dalam memandang ekonomi. Di Timur, aliran Brahmana di India dan sekte Manawi’ di Persia menilai kekayaan sebagai penghalang kesucian jiwa. Sementara di Barat, sistem kerahiban Kristen menempatkan kemiskinan sebagai tanda kesalehan.
Dalam Injil Matius, sebagaimana dikutip Qardhawi, Yesus pernah berkata kepada seorang pemuda kaya, “Juallah hartamu, dan berikanlah kepada fakir miskin, lalu ikutlah aku.” Ketika pemuda itu enggan, Yesus menimpali: “Lebih mudah unta masuk ke lubang jarum daripada orang kaya masuk ke kerajaan surga.”*
Sebaliknya, abad modern melahirkan ekstrem baru: kaum materialis dan sosialis, yang menempatkan ekonomi sebagai pusat hidup, dan harta sebagai “tuhan baru” manusia. Dalam pandangan Qardhawi, kedua ekstrem itu sama-sama kehilangan keseimbangan.
Islam, katanya, justru menghadirkan sintesis. Ia tidak memuja kefakiran, tapi juga tidak mengagungkan harta. Ia memandang kekayaan sebagai sarana — bukan tujuan.
Pilar Kehidupan, Bukan BerhalaQardhawi mengutip Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 5, yang menyebut harta sebagai “pokok penegak kehidupan”. Artinya, harta memiliki fungsi sosial, bukan sekadar akumulasi pribadi. Dalam ayat lain, Al-Qur’an menyebut harta sebagai khair atau kebaikan. “Dan sesungguhnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya kepada kebaikan (harta),” (Al-‘Adiyat: 8).
Melalui istilah “khair”, Qardhawi menegaskan bahwa Islam menempatkan harta dalam ranah moral: ia bisa jadi kebaikan jika digunakan untuk kebaikan, dan bisa jadi keburukan jika menimbulkan kesombongan dan penindasan.
Qardhawi mengingatkan bahwa dalam pandangan Al-Qur’an, kekayaan adalah nikmat Allah bagi mereka yang beriman dan berbuat baik. Ia mengutip surah Adh-Dhuha ayat 8: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”
Sebaliknya, kemiskinan bukanlah kemuliaan spiritual, melainkan ujian sosial dan peringatan moral bagi masyarakat yang mengabaikan keadilan. Surah An-Nahl ayat 21 bahkan menyinggung negeri makmur yang “dihancurkan” karena kufur terhadap nikmat Allah. “Artinya,” tulis Qardhawi, “kemiskinan bukan sesuatu yang dicari, tapi kondisi yang harus diatasi.”
Harta di Tangan yang BenarDalam pandangan Qardhawi, harta itu netral. Nilainya tergantung pada siapa yang menggenggamnya. Di tangan orang jahat, harta bisa jadi alat penindasan. Tapi di tangan orang saleh, ia menjadi sumber maslahat.
Itulah sebabnya Islam memerintahkan zakat, sedekah, dan distribusi harta untuk kemaslahatan sosial. Kekayaan tidak boleh berhenti di tangan segelintir orang. “Agar harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu,” (Al-Hasyr: 7).
Namun, Qardhawi juga memperingatkan bahaya “fitnah harta”. Ia mengutip Surah Al-Anfal ayat 28: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Ketika manusia mulai merasa cukup, tulis Qardhawi mengutip Surah Al-‘Alaq ayat 6-7, ia cenderung melampaui batas. Dari situlah keserakahan lahir, dan ketimpangan tumbuh.
Gagasan Qardhawi menegaskan satu hal: Islam tidak menolak dunia, tapi menundukkannya di bawah nilai-nilai moral. Harta bukan tujuan, tapi alat ibadah. Bukan berhala, tapi amanah.
Dalam dunia modern yang semakin dikuasai kapitalisme dan konsumerisme, pesan ini terdengar seperti peringatan lama yang kembali relevan: bahwa ekonomi tanpa etika hanya akan melahirkan jurang sosial dan kehampaan spiritual.
Seperti kata Qardhawi, “Bukanlah harta itu baik secara mutlak, atau jahat secara mutlak. Ia akan menjadi kebaikan bila berada di tangan orang-orang baik.”
(mif)