LANGIT7.ID- Mataram; Sebuah film asal Malaysia yang mengangkat isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan agama secara tak terduga menjadi pemantik keberanian para santri perempuan di Lombok Barat untuk bersuara. Film berjudul Bidaah Walid itu membuka mata para korban, yang selama ini bungkam, terhadap pola manipulasi berbalut agama yang mereka alami di salah satu pondok pesantren ternama.
Tokoh Walid dalam film itu digambarkan sebagai sosok spiritual yang menyalahgunakan kepercayaan para muridnya demi kepentingan seksual pribadi. Alur cerita tersebut ternyata sangat mirip dengan pengalaman nyata yang dialami para santri Ponpes Nabi Nubu di Desa Kekait, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat. Akibat kemiripan ini, sejumlah korban mulai sadar bahwa mereka telah menjadi korban predator seksual berkedok pemuka agama.
“Kasus terkuak sebagai dampak nonton Film Bidaah Walid produksi Malaysia yang viral. Para korban menyadari bahwa mereka diakali oleh pelaku yang modus penipuannya mirip sekali dengan tokoh Walid di film tersebut,” ujar politikus Partai NasDem Cucu Purnamasari dalam keterangannya, dikutip Kamis (24/4/2025).
Nama Ahmad Faisal, pimpinan pondok tersebut, mencuat ke permukaan sebagai terduga pelaku. Berdasarkan hasil investigasi awal, ia diduga telah melakukan kekerasan dan pelecehan seksual kepada para santri perempuan sejak tahun 2016 hingga 2023. Dalih spiritual digunakan sebagai tameng untuk menjalankan aksinya, seperti menjanjikan keberkatan dalam rahim korban agar anak yang mereka lahirkan kelak menjadi wali.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, menyebut aksi bejat itu dilakukan secara diam-diam saat santri lain beristirahat. “Pelecehan kerap dilakukan di ruang kelas sekolah yang berada di lingkungan pondok pesantren. AF diduga memanggil korban satu per satu untuk masuk ke ruang tersebut pada malam hari, tepatnya antara saat santri lainnya sedang beristirahat,” jelas Joko.
Sejauh ini, tujuh korban telah melapor ke Polresta Mataram, dibantu langsung oleh Cucu Purnamasari, kuasa hukum Teguh Gunawan SH, dan tokoh-tokoh masyarakat seperti H Muliawan dan H Khaerudin. Mereka juga berkoordinasi dengan dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Prof. Widodo Dwi Putro. Pendampingan korban terus dilakukan secara intensif.
Cucu menyampaikan bahwa dorongan utama para korban melapor adalah kesadaran kolektif yang muncul setelah mereka saling berbagi cerita usai menonton film tersebut. “Prihatin dan miris dengan kasus ini,” ujarnya, sembari menyebut dirinya tetap teguh meski kasus ini menyangkut figur publik.
LPA Kota Mataram mencatat setidaknya ada 20 nama santri yang diduga menjadi korban. Dari jumlah itu, enam di antaranya diduga disetubuhi, sementara sisanya mengalami pencabulan dan manipulasi emosional. Sebagian besar korban diketahui merupakan alumni pondok tersebut.
Pihak kepolisian saat ini sudah menangani laporan tersebut. Kasat Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, menyampaikan bahwa penyelidikan terus dikembangkan dan situasi di lapangan masih dikawal ketat.
"Pelaku (AF) saat ini kami amankan terlebih dahulu, karena menimbang situasi di sana belum kondusif," kata Regi.
Film Bidaah Walid kini menjadi simbol perubahan. Bukan hanya karya seni, tapi pemantik kesadaran kolektif akan bahaya kekerasan terselubung di lingkungan pendidikan agama. Suara para korban kini menjadi titik awal perjuangan untuk memutus rantai kekerasan seksual yang selama ini tertutup rapat oleh kekuasaan dan pengaruh.
(lam)