LANGIT7.ID--Kala itu
Kakbah rusak parah akibat banjir. Sebelum banjir pun dinding Kakbah memang sudah retak-retak dan rapuh. Kaum
Quraisy sudah memikirkan untuk merenovasi bangunan suci itu. Soalnya, tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "
Sejarah Hidup Muhammad" menuturkan kaum Quraisy menunda-nunda renovasi Kakbah karena merasa takut; kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Kakbah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka.
Menurut Haekal, sepanjang zaman Jahiliah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam barang siapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu.
Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Romawi bernama Baqum yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah.
Baca juga: Abu Yazid Al-Busthami: Kakbah Bisa Dikunjungi Tiap Saat karena Bukan Serambi Istana Raja Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan.
Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Makkah guna membantu mereka membangun Ka'bah kembali.
Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Makkah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Kakbah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali.
Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, khawatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin'l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan. Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi setelah itu ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Nabi Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Haekal bercerita, setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya.
Baca juga: Kisah Pra-Islam: Ketika Raja Tubba Batal Menyerang Kakbah, Masuk Agama Yahudi Perselisihan Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd'd-Dar dan keluarga 'Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini.
Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd'd-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan darah.'
Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka: "Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."
Tatkala mereka melihat Nabi Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima keputusannya."
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Beliaupun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya.
Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian beliau berkata; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Nabi Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Baca juga: Kisah Tabi'in Urwah bin Zubair: Terkabulnya Doa di Kaki Kakbah Quraisy menyelesaikan bangunan Kakbah sampai setinggi 18 hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk.
Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Kakbah.
Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Haekal mengatakan mengenai umur Nabi Muhammad waktu membina Kakbah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur 25 tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya 30 tahun.
Haekal menyatakan kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Kakbah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya di mata penduduk Makkah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
“Adanya pertentangan antar-kabilah, adanya persepakatan La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Makkah sebenarnya sudah jatuh,” tulis Haekal.
Baca juga: Kiswah, Kain Hitam Penutup Kakbah akan Diganti Baru pada 1 Muharram 1446 Hijriah “Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd'l-Muttalib besar sekali pengaruhnya,” ujar Haekal.
Menurut Haekal pula, dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan membawa akibat buruk terhadap Makkah, kalau saja tidak karena adanya rasa kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Kakbah. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara wajar pula, yakni menambah adanya kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat, dan menimbulkan keberanian pihak Yahudi dan kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani mereka lakukan sewaktu masih ada kekuasaan.
Hal ini berakhir dengan hilangnya pemujaan berhala-berhala itu dalam hati penduduk Makkah dan orang-orang Quraisy sendiri, meskipun pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Makkah masih memperlihatkan adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu.
Sikap mereka ini sebenarnya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa agama yang berlaku itu adalah salah satu alat yang akan menjaga ketertiban serta menghindarkan adanya kekacauan berpikir.
Dengan adanya penyembahan-penyembahan berhala dalam Kakbah, ini merupakan jaminan bagi Makkah sebagai pusat keagamaan dan perdagangan.
"Dan memang demikianlah sebenarnya, di balik kedudukan ini Makkah dapat juga menikmati kemakmuran dan hubungan dagangnya. Akan tetapi itu tidak akan mengubah hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Makkah," tutur Haekal.
(mif)