LANGIT7.ID-Turki; Seorang mahasiswa doktoral asal Turki di Tufts University, Amerika Serikat, telah kembali ke Boston setelah lebih dari enam pekan ditahan di pusat detensi imigrasi di Louisiana. Pengacaranya menyebut penahanan ini sebagai tindakan politis yang menargetkan kebebasan berekspresi.
Saat tiba di Bandara Internasional Boston Logan pada Sabtu (11/5), Rumeysa Ozturk mengaku lega bisa kembali melanjutkan studinya setelah melewati masa yang "sangat sulit".
"Selama 45 hari terakhir, saya kehilangan kebebasan dan kesempatan belajar di momen penting studi doktoral saya," ujarnya. "Tapi saya sangat berterima kasih atas semua dukungan, kebaikan, dan perhatian yang diberikan."
Sehari sebelumnya, seorang hakim federal memerintahkan pembebasannya sambil menunggu keputusan akhir terkait gugatan bahwa penahanannya ilegal.
Ozturk (30) ditangkap pada 25 Maret oleh petugas imigrasi di Massachusetts, yang mencabut visa pelajarnya dan memindahkannya ke fasilitas detensi di Louisiana.
Para pendukungnya meyakini Ozturk—penerima beasiswa Fulbright asal Turki—dijadikan target karena pernah menulis artikel opini di koran kampus yang menyerukan Tufts University mengakui perang Israel di Gaza sebagai genosida.
Kasus Genosida Israel di Pengadilan InternasionalSebuah gugatan genosida terhadap Israel sedang berlangsung di International Court of Justice (ICJ). Pekan lalu, mantan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell menuduh Israel melakukan genosida.
Ozturk didampingi pengacaranya serta dua anggota Kongres dari Partai Demokrat Massachusetts: Senator Edward Markey dan Perwakilan Ayanna Pressley.
"Hari ini adalah hari yang membahagiakan karena kami menyambutmu kembali, Rumeysa," kata Markey. "Kau telah membuat jutaan orang di negeri ini bangga dengan perjuanganmu."
Menurut pengacaranya, visa Ozturk dicabut tanpa pemberitahuan, dan ia tidak diizinkan menghubungi penasihat hukum hingga lebih dari sehari setelah penangkapan.
Dalam persidangan virtual pada Jumat (10/5), Ozturk menyebut kondisinya memburuk, termasuk serangan asma parah selama ditahan, serta harapannya untuk melanjutkan penelitian doktoral tentang anak-anak dan media sosial.
Hakim Distrik AS William Sessions mengabulkan pembebasan dengan jaminan, menyatakan Ozturk tidak berisiko kabur atau membahayakan publik. Ia menilai gugatan atas penahanan ilegalnya memunculkan pertanyaan konstitusional serius, termasuk potensi pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan proses hukum yang adil.
![Mahasiswa Turki Rumeysa Ozturk Tetap Berjuang Pasca Ditahan Amerika Gara Gara Protes Kekejaman di Gaza]()
Kritik terhadap Israel Dikaitkan dengan Anti-SemitKasus Ozturk menguak praktik yang kerap terjadi di era pemerintahan Donald Trump, di mana mahasiswa asing ditangkap dan visa mereka dicabut karena pandangan pro-Palestina.
Mahasiswa Columbia University Mahmoud Khalil—salah satu penggerak protes terhadap perang Israel di Gaza—juga ditahan Imigrasi pada 8 Maret dan masih dalam tahanan.
Administrasi Trump dituduh kerap menyamakan kritik terhadap Israel dengan anti-Semitisme. Sebelumnya, juru bicara Departemen Keamanan Dalam Negeri AS tanpa bukti menuduh Ozturk mendukung Hamas—kelompok yang dicap "teroris" oleh AS.
Ozturk membantah semua tuduhan dan bertekad melanjutkan perjuangan hukumnya. "Saya percaya pada sistem peradilan Amerika," tegasnya.
Perkara hukumnya akan berlanjut di Vermont, sementara sidang imigrasi terpisah digelar di Louisiana—yang bisa ia ikuti secara daring.
Video penangkapannya oleh petugas berpakaian preman dan bermasker di Somerville, Massachusetts, menjadi viral dan memicu kekhawatiran di kampus-kampus AS.
Pengacara dari American Civil Liberties Union (ACLU) berargumen bahwa penahanannya bertujuan menghukumnya atas ekspresi yang dilindungi Amandemen Pertama Konstitusi AS, sekaligus membungkam suara kritis lain.
Pressley—yang mengunjungi Ozturk selama ditahan—menyebut ia mengalami kondisi "tidak manusiawi" dan diabaikan perawatan medis meski asmanya kian parah.
"Pengalaman Rumeysa bukan sekadar kekejaman, tapi upaya terkoordinasi untuk mengintimidasi, menebar ketakutan, dan memberi peringatan bagi siapa pun yang berani bersuara menentang ketidakadilan," tegas Pressley.(*/saf/aljazeera)
(lam)