LANGIT7.ID-Suatu hari, seorang pemuda duduk di samping
Nasrudin Hoja sambil menatap langit sore yang mulai meredup. “Mullah,” katanya, “apa artinya nasib?”
Nasrudin mengusap janggutnya perlahan, lalu menjawab, “Asumsi-asumsi.”
Pemuda itu mengerutkan kening. “Bagaimana maksudnya?”
“Begini,” ujar Nasrudin, “Engkau mengira segalanya akan berjalan dengan baik—mungkin usahamu, rencanamu, atau cintamu—tetapi kenyataannya tidak demikian. Maka engkau menyebutnya nasib buruk.”
Pemuda itu mengangguk, pelan.
“Atau,” lanjut Nasrudin, “engkau takut sesuatu akan menjadi buruk, engkau khawatir dan bersiap-siap menghadapinya, tetapi nyatanya tak terjadi. Maka engkau menyebutnya nasib baik.”
Pemuda itu tersenyum, merasa mulai memahami.
“Dan sering kali,” kata Nasrudin sambil menunjuk langit yang memerah, “engkau hanya punya asumsi bahwa sesuatu akan atau tidak akan terjadi. Namun engkau kehilangan intuisi, kehilangan keheningan batin yang bisa membimbing. Engkau akhirnya berpikir bahwa masa depan adalah sesuatu yang gelap dan tak bisa dipahami. Ketika engkau merasa tersesat di dalamnya, maka engkau memberinya nama: nasib.”
“Jadi…” ujar pemuda itu ragu, “nasib hanyalah label bagi sesuatu yang tidak kita pahami?”
Baca juga: Kebenaran, Roti, dan Mimpi: Kisah Nasrudin dan Para Pencari Nasrudin tertawa kecil. “Tepat. Dan kadang, satu-satunya alasan kita menyebut sesuatu sebagai ‘nasib’ adalah karena kita tidak mau bertanggung jawab atas harapan kita sendiri.”
Hikmah Kisah:Nasib bukanlah kekuatan misterius yang menimpa manusia secara acak, melainkan sering kali cermin dari harapan dan asumsi kita sendiri. Ketika kita menggantungkan makna hidup pada harapan yang tidak realistis, maka kita mudah menyebut apa pun yang menyimpang darinya sebagai “nasib”. Namun, bagi jiwa yang jernih, masa depan bukan untuk ditebak, melainkan dijalani dengan kepekaan dan keberanian.
Kisah Nasrudin tentang “nasib” menyibak satu dimensi penting dalam kehidupan manusia: kecenderungan kita untuk menggantungkan makna hidup pada harapan, prediksi, dan asumsi. Ketika harapan-harapan itu tidak terwujud, kita menyebutnya “nasib buruk”. Ketika sesuatu berjalan lebih baik dari bayangan kita, kita menamainya “nasib baik”. Dan ketika kita tidak tahu lagi apa yang mungkin terjadi, kita menyebutnya “takdir”, lalu menyerah.
Tetapi sesungguhnya, nasib adalah konsep yang lahir dari keterbatasan pemahaman manusia. Kita menyusun rencana, tetapi tidak mengendalikan semesta. Kita mengira tahu jalan, tetapi sebenarnya meraba dalam kabut. Dalam kekacauan itu, manusia memerlukan penjelasan—dan penjelasan paling nyaman adalah “nasib”.
Baca juga: Kisah Humor Sufi Nasrudin Hoja: Laporan di Atas Roti Padahal, nasib hanyalah cara kita membingkai realitas yang tak bisa kita kuasai dengan akal semata. Ia adalah nama lain dari ketidaksiapan kita untuk menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Nasib menjadi “kambing hitam” ketika kita kecewa, dan “alasan syukur” ketika kita untung—padahal keduanya adalah pantulan dari sikap batin, bukan dari sesuatu yang berdiri di luar diri.
Islam sendiri tidak memisahkan nasib dari usaha dan ikhtiar. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia mendapat apa yang diusahakannya (QS An-Najm: 39), dan doa Nabi Muhammad saw. sendiri mengajarkan kita berlindung dari "
su’ al-qadha" (takdir buruk), yang artinya ada ruang dalam takdir itu untuk dimohonkan, dipengaruhi, bahkan diubah.
Hikmah paling dalam dari kisah ini adalah ajakan untuk tidak terjebak dalam fatalisme pasif, yaitu menganggap diri sebagai korban dari sesuatu yang tidak bisa diubah. Kita diajak untuk tidak hanya memperbaiki asumsi, tapi juga menyadari betapa seringnya kita menyebut “nasib” hanya karena kita tidak mampu menerima kenyataan atau enggan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita.
Dalam hidup, bukan nasib yang perlu dikhawatirkan, tapi kesiapan hati untuk menerima, keberanian untuk melangkah, dan kejernihan untuk memahami bahwa segala sesuatu, baik atau buruk, adalah bagian dari proses pertumbuhan kita menuju kebijaksanaan.
Baca juga: Kisah Humor Sufi: Gaya Memanah Nasrudin Hoja(mif)