LANGIT7.ID-Di sebuah desa pegunungan di Vietnam utara, daging anjing dianggap santapan istimewa. Namun, di meja para ulama fikih, sajian ini berubah menjadi topik pelik yang memantik silang pendapat lintas abad. Sejak abad ke-2 Hijriah, para imam mazhab telah menimbangnya bukan dari rasa, melainkan dari dalil-dalil syariat.
Dasar perdebatan bermula dari sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas: “Rasulullah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar” (Sahih Muslim, no. 1934). Larangan itu, menurut mayoritas ulama, mencakup anjing. Sebab, gigi taringnya masuk dalam kategori hewan predator darat.
Tiga mazhab besar yakni Hanafi, Syafi‘i, dan Hanbali,sepakat, daging anjing haram dimakan. Kitab al-Majmu’ karya Imam an-Nawawi (w. 676 H) menegaskan, dalam mazhab Syafi‘i, “Setiap hewan buas bertaring haram dimakan, termasuk anjing, baik jinak maupun liar.”
Pandangan ini juga ditemukan dalam al-Mughni karya Ibnu Qudamah (w. 620 H), representasi mazhab Hanbali, yang menegaskan larangan tanpa pengecualian. Di pihak Hanafi, ulama seperti al-Kasani dalam Bada’i’ al-Shana’i’ menggolongkan anjing dalam kelompok “hewan khabits” yang tidak layak konsumsi.
Baca juga: Halal dan Haram Berhias di Salon Kecantikan Menurut Syaikh Al-Qardhawi Namun, mazhab Maliki memberi warna berbeda. Dalam al-Muwatta, Imam Malik menyatakan larangan memakan hewan predator, termasuk anjing. Akan tetapi, sebagian ulama Maliki kemudian menafsirkan larangan ini tidak selalu setara dengan “haram mutlak” dalam pengertian mazhab lain.
Menurut catatan J. Schacht dalam An Introduction to Islamic Law (Oxford University Press, 1964), tradisi Maliki di Afrika Utara kadang memosisikan memakan anjing sebagai makruh tahrimi atau sangat dibenci tetapi tidak sampai mengundang hukuman hudud, terutama dalam konteks darurat pangan. Pandangan minor ini masih menjadi perdebatan di kalangan fuqaha Maliki sendiri.
Faktor najis juga memperkuat sikap mayoritas ulama. Air liur anjing, menurut hadis riwayat Muslim, bila menjilat bejana harus dibersihkan tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
Ulama Syafi‘i dan Hanbali memandang ini sebagai bukti tingkat kenajisan yang tinggi, sehingga konsumsi dagingnya otomatis tertolak. Mazhab Maliki, yang terkenal lebih longgar dalam soal najis anjing, menganggapnya tidak najis kecuali air liurnya, tetap menutup pintu konsumsi dagingnya bagi muslim.
Perbedaan ini tidak lahir di ruang kosong. Kajian Farhat J. Ziadeh dalam jurnal The Muslim World (1958) mencatat, mazhab-mazhab fikih sering dipengaruhi konteks sosial-geografis. Di wilayah yang memanfaatkan anjing untuk berburu atau menjaga ternak, ulama lebih fokus membahas aspek kepemilikan dan pemeliharaan, bukan konsumsi. Sementara di daerah tanpa tradisi kuliner berbasis anjing, larangan syariat diterima tanpa resistensi budaya.
Baca juga: Menimbang Halal dan Haram: Hak Tuhan yang Direbut Manusia Kini, di era global, perbedaan itu kadang mencuat kembali di forum daring, sering kali dengan nada sensasional: “Mazhab Maliki membolehkan makan anjing!” Padahal, rujukan primer menunjukkan larangan tetap menjadi norma umum, meski istilah hukumnya kadang berbeda. Seperti yang diingatkan oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam "Halal dan Haram dalam Islam", “Perbedaan ungkapan hukum harus dipahami dalam kerangka usul fikih masing-masing mazhab, bukan sebagai izin bebas.”
(mif)