LANGIT7.ID-Betul! "Tetapi mereka telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka,” sabda
Nabi Muhammad SAW seperti diriwayatkan Tirmidzi kepada Adi bin Hatim, bekas pemeluk Nasrani, dalam sebuah percakapan yang mengguncang batas iman dan kekuasaan agama.
Di tengah meningkatnya tafsir keagamaan yang menjurus pada otoritarianisme fikih dan populisme syariah, suara lama dari Al-Qur’an kembali menyeruak: bahwa halal dan haram adalah hak prerogatif Tuhan. Bahkan Nabi pun sekadar menyampaikan, bukan menetapkan.
Dalam buku klasik modern "
Halal dan Haram dalam Islam",
Syaikh Yusuf al-Qardhawi merumuskan apa yang ia sebut sebagai “dasar kedua” dalam memahami sistem etika Islam: manusia, seberapa pun saleh dan tingginya kedudukan agama atau dunianya, tidak berwenang menetapkan hukum halal-haram. Kewenangan itu mutlak milik Allah, bukan pastor, pendeta, raja, mufti, apalagi politisi.
Dalilnya tak hanya satu dua. Di antaranya QS. asy-Syura: 21 yang mempertanyakan “sekutu-sekutu” yang menciptakan aturan agama tanpa izin Allah, atau QS. at-Taubah: 31 yang mengecam orang-orang yang menjadikan pendeta dan rahib sebagai “tuhan” dengan mengikuti fatwa-fatwa mereka seakan-akan itu wahyu.
Baca juga: Hukum Lukisan: Halal dan Haramnya Tergantung Pada Subyek Gambar Ironi ini tidak hanya ditemukan dalam sejarah Kristiani. Dalam umat Islam sendiri, pergeseran otoritas syar’i dari wahyu kepada ulama atau penguasa telah menjadi jebakan panjang dalam sejarah hukum Islam.
Tidak heran jika para imam besar seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, hingga Ahmad bin Hanbal lebih suka berkata “saya tidak menyukainya” atau “saya khawatir” ketimbang langsung memutuskan “halal” atau “haram”. Bagi mereka, menyematkan label halal-haram berarti berbicara atas nama Tuhan. Dan itu bukan perkara ringan.
Imam Syafi’i sendiri, seperti dicatat dalam al-Umm, mengutip kalimat para salaf: “Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya.”
Tak hanya bijaksana, cara ini juga mencerminkan etika epistemologis: pengakuan bahwa ilmu manusia terbatas, dan bahwa fatwa bukan wahyu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa ulama salaf tidak mengharamkan sesuatu kecuali setelah mengetahui secara pasti. Dan yang “pasti” dalam hukum Tuhan, hanya datang dari dua sumber: nas Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Namun, kenyataannya hari ini justru sebaliknya. Di berbagai negara dan komunitas, pengharaman dan penghalalan diproduksi secara massal: dari soal pakaian, musik, hingga politik dan transaksi digital.
Tak jarang, label halal-haram menjadi senjata eksklusif untuk menjustifikasi ideologi kelompok atau kepentingan kekuasaan. Otoritas syariah bukan lagi penyampai hukum Tuhan, tapi pembuat “hukum Tuhan” atas nama Tuhan.
Baca juga: Halal dan Haram: Tujuan Pakaian dalam Pandangan Islam Dan di sinilah pesan Al-Qur’an kembali relevan: “Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah.” (QS. an-Nahl: 116).
Syaikh al-Qardhawi melalui buku ini mengingatkan dunia Islam tentang bahaya mendewakan manusia dalam urusan syariah. Tugas para ulama hanyalah menjelaskan, bukan menciptakan. Yang punya otoritas menetapkan, tetap dan selamanya adalah Tuhan.
Dan Tuhan, tidak butuh wakil untuk perkara yang telah Ia turunkan dengan jelas.
(mif)