Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Najis, Suci, atau Maslahat? Perdebatan Panjang soal Anjing

miftah yusufpati Kamis, 14 Agustus 2025 - 16:30 WIB
Najis, Suci, atau Maslahat? Perdebatan Panjang soal Anjing
Perdebatan soal anjing pernah membuat mubaligh Muhammadiyah dan mubaligh Syafiiyah bersilang pendapat tajam di mimbar. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID- Di ruang tamu rumahnya di Jakarta pada awal 1940-an, Kiai Mas Mansur menerima tamu istimewa. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu duduk santai, sementara seekor anjing betina berbulu tebal jenis Keeshond berlarian di halaman. Saat KH Abdul Wahab Hasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama, datang bertamu, anjing itu dilepas oleh Ibrahim, putra Mas Mansur. Wahab yang kiai besar itu meloncat kaget, menghindari si anjing yang justru berniat menyapa ramah.

Kisah ini dicatat Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran (2005). Anjing tersebut hadiah dari pemilik restoran Molenkamp, langganan Sukarno di Pasar Baru. Mas Mansur menerima dan memeliharanya tanpa rasa bersalah. Baginya, anjing adalah binatang mulia, penjaga setia Ashabul Kahfi yang diceritakan Al-Qur’an, dan tak layak dihakimi najis secara mutlak. Ia bahkan mencontohkan Makkah, yang kala itu banyak anjing berkeliaran, tanpa stigma keras.

Pandangan seperti ini terdengar longgar bagi sebagian ulama Syafi’iyah di Indonesia, yang memandang anjing sebagai najis mughalladzah, najis berat yang harus dicuci tujuh kali—satu di antaranya dengan tanah—jika terkena liurnya. Namun Muhammadiyah, meski tak terikat pada satu mazhab, memiliki manhaj (lajur beragama) sendiri. Kaidah hukum disusun hati-hati lewat musyawarah Majelis Tarjih dan Tajdid. Perbedaan metodologi istinbath (penarikan hukum) inilah yang membuat Muhammadiyah kerap berbeda sikap dengan mayoritas umat Islam Indonesia.

Baca juga: Ketegangan Politik dan Lahirnya Dua Mazhab Besar Fikih Islam

Dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia (2007), Thoha Hamim menulis, Muhammadiyah memandang anjing bukan sejenis khinzir, sehingga tak mengandung najis mughalladzah. Soetjipto Wirosardjono dalam Agama dan Pluralitas Bangsa (1991) bahkan menyebut kedekatan Muhammadiyah dengan mazhab Maliki membuat sebagian anggotanya yang berpendidikan tinggi bisa mentolerir orang yang memelihara anjing.

Situs resmi Majelis Tarjih menyebut hukum memelihara anjing diizinkan untuk keperluan jelas manfaatnya misalnya menjaga pertanian, menggembala ternak, atau berburu. Perkembangan kini menambahkan fungsi sebagai penjaga rumah atau hewan pelacak. Memelihara anjing hanya sebagai hobi atau peliharaan lucu tetap tak dianjurkan.

Meski ada unsur kenajisan, Islam, menurut Majelis Tarjih, melarang perlakuan zalim pada anjing. Menyiksa atau menelantarkan binatang, termasuk anjing, adalah perbuatan tercela. Prinsipnya: bersikap baik kepada semua makhluk, dengan batas interaksi sesuai syariat.

Peta Perbedaan Mazhab

Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, mencatat tiga pandangan mazhab soal anjing:

- Syafi’i & Hanbali – Najis seluruh tubuhnya, baik kering maupun basah.
- Hanafi – Suci, kecuali bagian basahnya seperti liur, keringat, atau kencing.
- Maliki – Suci seluruhnya; perintah membasuh bejana tujuh kali dipahami sebagai ta’abbudi (ritual ibadah), bukan karena kenajisan.
- Mazhab Maliki inilah yang sering menjadi rujukan Muhammadiyah dalam kasus anjing.

Baca juga: Lima Kaidah Dasar Mazhab Syafi’i dalam Penetapan Hukum Menurut Nurcholish Madjid

KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha punya pandangan serupa dengan mazhab Maliki. Menurutnya, di masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, anjing bukan hewan najis. Mereka biasa memuji anjing Ashabul Kahfi dan memeliharanya untuk berburu. Al-Qur’an, dalam surat Al-Maidah ayat 4, bahkan menyebut hewan terlatih pemburu dengan contoh anjing.

Bagi Gus Baha, anggapan najis baru menguat di era pasca-Imam Syafi’i, ketika mazhab Syafi’i menjadi dominan. Ia mengkritik pandangan bahwa rumah beranjing kehilangan rahmat malaikat, menafsirkannya sebagai bahasa kinayah: “Anjing” adalah simbol sifat tamak, bukan binatangnya secara fisik.

Isu ini kembali ramai beberapa tahun silam ketika Hesti Sutrisno, perempuan bercadar di Jawa Barat, memelihara 70 ekor anjing di lahan satu hektare miliknya. Meski jauh dari pemukiman, sebagian warga keberatan. Kasus ini menyorot kembali jurang perbedaan sikap: antara yang berpegang pada fikih Syafi’iyah yang ketat, dan yang memandang anjing secara fungsional, seperti Muhammadiyah dan sebagian ulama kontemporer.

Nur Syam, dalam Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal (2013), merekam bahwa perdebatan soal anjing pernah membuat mubaligh Muhammadiyah dan mubaligh Syafi’iyah bersilang pendapat tajam di mimbar. Namun di banyak kesempatan, perbedaan itu justru memunculkan diskusi sehat, memperkaya khazanah hukum Islam Indonesia.

Baca juga: Perbedaan dalam Furu' Tak Cuma Terjadi Pada Imam Mazhab

Dari Makkah ke Yogyakarta

Bagi Muhammadiyah, keberadaan anjing di Makkah—tanah haram—yang dibiarkan tanpa stigma keras, menjadi bukti bahwa penilaian terhadap binatang ini tak semestinya hitam-putih. Kaidah istinbath yang dipakai Majelis Tarjih menekankan maslahat, bukan sekadar teks yang dibaca secara literal.

Kiai Mas Mansur mungkin sudah tiada, tapi warisan pikirannya masih terasa. Anjing Keeshond yang pernah mengagetkan KH Wahab Hasbullah kini tinggal anekdot sejarah. Namun di balik cerita itu tersimpan pesan: perbedaan pandangan soal anjing adalah cermin dari keragaman tafsir Islam yang di tangan Muhammadiyah, dibingkai bukan untuk memecah, melainkan untuk mencari maslahat.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan