LANGIT7.ID-Jakarta; Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap Program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Menurutnya, program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu berpotensi menggerus ekosistem ekonomi masyarakat jika tidak dikelola dengan tepat.
Dilansir dari situs MUI, pernyataan tersebut ia sampaikan dalam acara Standardisasi Dai Angkatan ke-43 Komisi Dakwah MUI di BSI Tower, Jakarta Selatan, Senin (29/9). Ia mengapresiasi komitmen pemerintah dalam merealisasikan janji kampanye melalui MBG, namun menilai banyak hal perlu diperbaiki.
Kiai Cholil menyoroti ribuan kasus keracunan yang muncul sejak program ini berjalan. Ia menegaskan bahwa masalah itu bukan sekadar kelalaian kecil, melainkan indikasi adanya kesalahan sistemik. “Jadi kasus keracunan ini bisa menjadi evaluasi karena ribuan (kasus keracunan). Berarti ada sistem yang salah, bukan hanya keteledoran semata, tapi sudah ada sistem yang salah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai manajemen pelaksanaan MBG tidak dijalankan oleh pihak yang kompeten. Hal ini bisa terlihat dari perencanaan hingga anggaran yang tidak dikelola dengan baik. “Bisa saja berkenaan anggarannya. Anggarannya cukup atau tidak. Anggaran yang per sekian itu berapa rantai tangan di dalam pelaksanaan di dalam manajerial itu. Nah evaluasi,” tegasnya.
Bagi Kiai Cholil, MBG bukan sekadar penyediaan makanan massal layaknya dapur umum. Program ini, katanya, seharusnya benar-benar memastikan gizi anak-anak terpenuhi. Ia mengusulkan agar sistemnya tidak dipukul rata, melainkan disesuaikan dengan kondisi daerah. “Evaluasi kan artinya dikoreksi kembali. Mungkin pertama sistemnya diubah menjadi tak semuanya sistem dapur. Bisa supply bahan atau uang, intinya bagaimana anak-anak bisa makan yang bergizi,” kata Kiai Cholil.
Ia menambahkan, model distribusi MBG sebaiknya mempertimbangkan kemampuan lokal. Ada wilayah yang bisa lebih efektif jika diberikan bahan pangan, sementara daerah lain justru lebih tepat mendapat dukungan uang tunai. “Hanya saja barangkali mempertimbangkan wilayah dan tempat, mungkin di daerah-daerah siap dengan dapurnya bisa disupport bahannya. Umpanya daerah yang sekolahnya, pesantrennya, bisa disupport bahannya. Ada satu tempat yang barangkali diberikan uangnya. Jadi MBG tetap ada, tetapi tidak semuanya berlaku secara nasional, sehingga penyerapannya menjadi susah,” tegasnya.
Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah Depok, ia juga mengingatkan bahwa sekolah dan pesantren bukan hanya pusat pendidikan dan dakwah, tetapi juga wadah pemberdayaan masyarakat. Karena itu, MBG perlu dijalankan dengan cara yang justru mendukung ekonomi lokal, misalnya melibatkan pedagang sekitar sekolah. “Kalau umpamanya di daerah itu diserahkan masyarakat sekitar, gotong royong dengan orang-orang yang biasa jual di sekolah malah lebih bagus,” tuturnya.
Meski demikian, ia menolak jika program MBG dihentikan. Menurutnya, langkah ini penting bukan hanya untuk gizi anak, tetapi juga menciptakan lapangan kerja. Yang dibutuhkan adalah koreksi agar janji besar pemerintah tidak berubah menjadi beban baru. “Ya berjalan, karena sudah jadi komitmen pemerintah. Evaluasi nyatanya sudah banyak keracunan. Ya pastilah (evaluasi agar tidak jadi makanan beracun gratis), itu kan kesalahan manajerial karena sudah ribuan korbannya,” tegasnya.
(lam)