LANGT7.ID-Di tengah pandangan yang sering menilai agama sebagai sesuatu yang statis dan beku, konsep nasikh-mansukh—penghapusan dan penggantian hukum dalam Al-Qur’an—menawarkan wajah lain dari dinamika wahyu. Ia menunjukkan bahwa Islam tidak lahir sebagai sistem hukum yang turun sekaligus jadi, melainkan tumbuh dalam dialog dengan sejarah, manusia, dan realitas sosialnya.
KH Ali Yafie, dalam tulisannya “
Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an”, menjelaskan bahwa perubahan hukum-hukum dalam Al-Qur’an bukan tanda kontradiksi, melainkan ekspresi dari
tadarruj—pendidikan bertahap yang dilakukan Tuhan kepada umat manusia. Ia menulis, merujuk pada pandangan Syekh al-Qasimi, bahwa “Allah mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses bertahap, hingga mencapai kesempurnaan sosial dan spiritualnya.”
Dengan kata lain, naskh bukan penghapusan dalam arti pembatalan mutlak, tapi penyempurnaan. Hukum-hukum awal yang bersifat lokal dan sementara, diganti dengan aturan yang lebih universal, sejalan dengan kematangan masyarakat penerima wahyu.
Tadarruj: Pendidikan IlahiKH Ali Yafie membandingkan proses perubahan hukum dengan hukum alam. Ia menulis, sebagaimana manusia lahir dari sperma menjadi janin, lalu tumbuh menjadi dewasa, demikian pula hukum Tuhan berkembang mengikuti tahap kematangan umat. “Kalau naskh dalam alam raya ini tidak kita ingkari,” tulisnya, “mengapa kita mempersoalkan penghapusan dan pengembangan dalam syariat?”
Pandangan ini menempatkan wahyu dalam kerangka pendidikan yang progresif. Tuhan, kata Ali Yafie, tidak menurunkan hukum berat sekaligus kepada bangsa yang baru mengenal tauhid. Ada proses penyesuaian psikologis, sosial, bahkan kultural. Hukum yang keras datang setelah manusia siap menerima.
Bagi KH Ali Yafie, nasikh-mansukh justru menjadi bukti kasih sayang Tuhan. “Syariat Allah adalah perwujudan rahmat-Nya,” tulisnya. Tuhan menurunkan hukum bukan untuk membebani, tapi membimbing manusia mencapai kedewasaan spiritual dan sosial.
Ia membandingkan dengan agama-agama sebelumnya yang hukum-hukumnya diubah manusia sendiri, hingga kehilangan substansinya. Dalam Islam, perubahan itu ditetapkan langsung oleh Tuhan—melalui wahyu—bukan oleh tafsir politik atau kepentingan penguasa agama.
Perubahan ilahi itu bukan bentuk inkonsistensi, melainkan mekanisme rahmah (kasih sayang): cara Tuhan mengajari manusia hidup tertib, adil, dan sesuai dengan fitrahnya.
Refleksi di Zaman ModernDi era kini, gagasan
nasikh-mansukh seolah menemukan relevansi baru. Dalam masyarakat yang berubah cepat—dengan tantangan moral, sosial, dan ekologis yang belum pernah ada sebelumnya—konsep perubahan bertahap menjadi pelajaran penting. Bahwa keimanan tak selalu berarti ketaatan kaku, tapi juga kemampuan memahami konteks, mencari hikmah, dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan nilai dasar.
Ali Yafie, dengan pendekatan kontekstual khasnya, menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan teks yang beku, melainkan
living guidance—petunjuk yang hidup, yang terus membimbing manusia sepanjang zaman.
Kesimpulannya, nasikh-mansukh bukan sekadar teori hukum Islam klasik, tapi cermin kebijaksanaan wahyu. Bahwa Tuhan mendidik manusia dengan lembut dan bertahap, agar agama tak sekadar ditaati, tapi dihayati dengan kesadaran penuh akan rahmat dan kemanusiaan.
(mif)