Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 30 Oktober 2025
home masjid detail berita

Ketika Alam Bicara: Kosmologi Qurani dan Ledakan Besar

miftah yusufpati Senin, 27 Oktober 2025 - 16:00 WIB
Ketika Alam Bicara: Kosmologi Qurani dan Ledakan Besar
Alam semesta bukan ruang kosong, melainkan kitab terbuka berisi ayat-ayat Allah. Ia menuntut manusia berpikir, meneliti, dan membaca langit sebagaimana membaca wahyu. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Prof. Dr. Achmad Baiquni, M.Sc., Ph.D (31 Agustus 1923 – 21 Desember 1998) mengatakan alam semesta bukan sekadar ruang kosong tempat planet beredar. Ia adalah teks terbuka—ayat-ayat Allah—yang menanti untuk dibaca oleh akal manusia. “Dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran [3]:190).

Ayat ini, tulis fisikawan Atom pertama di Indonesia ini, adalah undangan langsung bagi manusia untuk melakukan observasi ilmiah. Sebab memahami wahyu tidak cukup hanya dengan tafsir teks, tetapi juga dengan membaca alam sebagai ayat kauniyah. Di sinilah letak keunikan Islam: menautkan iman dengan rasio, teks dengan semesta, zikir dengan pikir.

Namun, Baiquni juga mengingatkan: penafsiran terhadap ayat-ayat alam selalu bergantung pada kemampuan ilmiah manusia di masanya. Tafsir langit pada abad ke-9 M, misalnya, masih dipengaruhi kosmologi Ptolemeus—bumi datar, langit berbentuk bola, bintang menempel di kubah raksasa yang berputar. Sebuah pandangan yang kini terasa naif.

Ayat yang Mengembang

Abad ke-20 membawa revolusi baru. Ketika Edwin Hubble menemukan bahwa galaksi-galaksi di jagat raya saling menjauh dengan kecepatan sebanding jaraknya, manusia menyaksikan kebenaran ilmiah dari firman Allah: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan, dan sesungguhnya Kami meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:47).

Penemuan ini mengubah arah sains modern. Alam ternyata tidak statis seperti bayangan Newton, melainkan dinamis, berekspansi, dan mungkin—seperti disebut Al-Qur’an dalam Al-Anbiya’ [21]:30—“pada mulanya padu, lalu dipisahkan.”

Baiquni menyebut ini sebagai titik temu antara wahyu dan observasi. “Sains yang benar,” tulisnya, “adalah sains yang sejalan dengan konsep-konsep kosmologis dalam Al-Qur’an.”

Islam, kata Baiquni, telah lebih dulu mendorong lahirnya sains empiris. Sejak perintah “Bacalah” (QS. *Al-‘Alaq* [96]:1-5), umat Islam dituntut meneliti, mengukur, dan menalar. “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar manusia dengan qalam…”

Dari perintah ini lahir tradisi observasi di dunia Islam: dari observatorium Maragha di Persia hingga Andalusia. Ilmu perbintangan (astrologi) diubah menjadi astronomi, tafakur menjadi riset, dan kontemplasi menjadi pengukuran. Sejarah sains Islam, bagi Baiquni, adalah bukti bahwa perintah wahyu melahirkan metode ilmiah—jauh sebelum Galileo menatap langit dengan teleskopnya.

Namun, sejak abad ke-13, obor pengetahuan berpindah tangan. “Sains tumbuh dalam kerangka nilai non-Islami,” tulis Baiquni dengan nada prihatin. Ia menyerukan perlunya “mengislamkan sains”—mengembalikan nilai spiritual dalam metodologi ilmiah agar ilmu tak kehilangan arah moralnya.

Big Bang dan Kebenaran yang Bertemu

Di paruh kedua abad ke-20, teori Big Bang menggemparkan dunia sains. Menurut George Gamow (1952), seluruh materi di jagat raya dulunya terkonsentrasi dalam satu titik padat—singularitas—yang kemudian meledak dan membentuk ruang, waktu, serta energi.

Baiquni membaca fenomena itu dengan pandangan Qur’ani. Ayat Fushshilat [41]:11 menyebut bahwa “langit itu penuh dukhon (asap atau kabut),” sebuah gambaran yang dalam tafsir modern sering dihubungkan dengan kondisi awal pasca-ledakan besar, ketika materi masih berupa gas panas dan pekat.

“Al-Qur’an telah lebih dulu memberi isyarat tentang asal mula alam,” tulis Baiquni. “Hanya bahasa dan perangkat ilmiahnya saja yang berbeda.”

Baiquni mengutip ayat lain yang mempertegas keteraturan semesta: “Kemudian Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa, dan mewahyukan kepada tiap langit peraturannya masing-masing…” (QS. Fushshilat* [41]:12).

Bagi Baiquni, ayat ini menegaskan struktur hierarkis dan hukum alam yang teratur—sebuah “wahyu fisik” yang menandakan bahwa semesta tunduk pada hukum Allah. Dalam sains modern, hal ini bersesuaian dengan prinsip hukum-hukum universal fisika yang menjaga keseimbangan kosmos.

Ketika Langit Akan Digulung

Namun Al-Qur’an tidak berhenti pada kisah penciptaan. Ia juga menggambarkan kehancuran kosmos: “Pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran tulisan.” (QS. *Al-Anbiya’* [21]:104).

Ayat ini, menurut Baiquni, membuka kemungkinan adanya kontraksi balik (Big Crunch)—gagasan yang juga dibahas oleh kosmolog modern seperti Stephen Hawking dan Roger Penrose. Alam yang mengembang suatu saat bisa berhenti dan kembali menyusut ke asalnya. “Dari titik kita berasal, ke titik pula kita kembali,” tulis Baiquni. “Begitulah siklus kosmik sekaligus spiritual manusia.”

Pandangan Baiquni menggambarkan sebuah jembatan antara wahyu dan rasio, sains dan iman. Ia tidak menolak sains Barat, tetapi menuntut integrasi nilai: bahwa ilmu pengetahuan harus dibingkai dengan kesadaran ketuhanan.

Dalam pandangan serupa, Seyyed Hossein Nasr (Science and Civilization in Islam, 1968) juga menyerukan “revitalisasi spiritualitas dalam sains” — bahwa pengetahuan sejati bukan hanya soal “bagaimana alam bekerja”, tetapi juga “mengapa ia bekerja seperti itu”.

Kosmologi Qur’ani, bagi Baiquni, bukan sekadar catatan penciptaan, tapi peta kesadaran. Ia menuntun manusia agar memahami dirinya sebagai bagian dari keteraturan semesta, bukan penguasanya.

Di era ketika sains sering berjarak dari nilai, pesan Baiquni kembali terasa aktual. “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi,” (QS. Yunus [10]:101) — seruan agar manusia membaca ayat-ayat alam sebagaimana ia membaca ayat kitab.

Dalam dunia yang semakin cepat dan kompleks, barangkali kita memang perlu kembali menatap langit. Bukan sekadar untuk memahami bintang, tapi untuk mengingat siapa yang menyalakan cahayanya.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 30 Oktober 2025
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:40
Ashar
14:54
Maghrib
17:49
Isya
19:00
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan