LANGIT7.ID-Di suatu malam di Madinah, beberapa sahabat Nabi memandangi langit. Bulan tampak bergeser bentuk, dari sabit ke purnama, lalu memudar kembali. “Mengapa demikian?” tanya mereka. Nabi tak menjawab langsung; Al-Qur’anlah yang turun membawa penjelasan: “Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji.” (QS Al-Baqarah [2]: 189).
Ayat ini, menurut Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Quran, bukan sekadar menjelaskan fenomena astronomi. Ia menunjukkan bahwa peredaran matahari dan bulan adalah tanda yang harus dimanfaatkan manusia untuk menyelesaikan tugas-tugas hidupnya. Waktu, dalam pandangan Islam, bukan ruang kosong yang dilalui begitu saja. Ia adalah sistem penanda, alat ukur bagi kerja, ibadah, dan kesadaran.
Bagi Quraish Shihab, perubahan wajah bulan juga metafora bagi perjalanan manusia. Seperti bulan, manusia pernah “tidak tampak” di pentas bumi, kemudian lahir kecil, tumbuh, bersinar di puncak umur, lalu menua dan lenyap. Dalam siklus itu, waktu menjadi cermin eksistensi—ia mengingatkan bahwa hidup adalah rangkaian “datang dan pergi” yang tak berhenti berputar. “Dia menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu kepada orang yang ingin mengingat atau orang yang ingin bersyukur.” (QS Al-Furqan [25]: 62).
Dua kata kunci muncul dalam ayat itu: mengingat dan bersyukur. Mengingat berarti menoleh ke masa lalu, menimbang apa yang telah terjadi, mengoreksi kesalahan, memperbaiki langkah. Bersyukur berarti menggunakan segala potensi yang diberikan Tuhan untuk tujuan yang benar—kerja keras, bukan sekadar kata pujian.
Dengan demikian, malam dan siang bukan hanya penanda waktu biologis. Ia juga ruang kontemplasi spiritual: kesempatan bagi manusia untuk menengok ke belakang sekaligus menatap ke depan.
Dari Masa Lalu ke Hari Esok Al-Qur’an berkali-kali menutup kisah masa lalu dengan seruan yang sama: “Maka ambillah pelajaran dari peristiwa itu.” (lihat QS Yusuf [12]: 111). Sementara dalam hal masa depan, ia memerintahkan manusia berpikir dan menilai: apa yang telah disiapkan untuk hari esoknya?
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Quraish Shihab menafsirkan bahwa “hari esok” dalam ayat itu mencakup dua dimensi: masa depan dunia dan akhirat. Manusia diperintahkan untuk mempersiapkan keduanya—dengan landasan yang sama, yakni takwa. Tidak ada masa depan sejati tanpa kesadaran spiritual yang menuntun tindakan hari ini.
Menariknya, ayat itu dimulai dan diakhiri dengan perintah yang sama: bertakwalah. Bagi Quraish Shihab, pengulangan itu bukan kebetulan. Ia mengisyaratkan bahwa takwa adalah poros waktu: titik tolak sekaligus tujuan akhir perjalanan hidup.
Waktu Sebagai Amanah Dalam kerangka tafsir Quraish Shihab, waktu bukan musuh yang harus dilawan, melainkan amanah yang harus diolah. Ia ibarat sungai yang mengalir, menghidupi siapa pun yang mau menyelam di dalamnya. Tapi sungai yang sama bisa menghanyutkan mereka yang lengah.
Maka manusia dituntut untuk menempatkan waktu dalam fungsi yang benar: ruang belajar, bekerja, bersyukur, dan memperbaiki diri. “Waktu,” tulis Quraish Shihab, “bukan sekadar hitungan jam dan hari, tetapi peluang yang terus menipis untuk membenahi amal.”
Bila bulan terus berganti wajah tanpa gagal, demikian pula manusia dituntut menunaikan tugas-tugasnya pada setiap fase hidup: dari masa muda hingga senja. Sebab pada akhirnya, waktu akan memanggil kembali setiap insan ke asalnya—dan hanya mereka yang mengisinya dengan amal dan kesadaranlah yang akan dikenang sebagai purnama, bukan sabit yang hilang di kegelapan.
(mif)