LANGIT7.ID, Jakarta -  Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmi Zarkasyi, menjelaskan, makna 
wasathiyah dalam Islam berbeda dengan moderat ala Barat. Bagi barat, moderat berarti setuju dengan sekularisme, pluralisme, liberalisme, feminisme, humanisme dan isme-isme lainnya. 
“Moderat itu sebuah kata yang berasal dari barat. Moderat ala barat tidak bisa diartikan seperti 
wasathiyah dalam Islam. Islam adalah agama yang washatan,” kata Prof Hamid dalam kajian Minhaj via daring, Kamis malam (7/10/2021).
Baca Juga: Menilik Konsep Wasathiyah, Moderasi yang Benar dalam Islam
Syekh Yusuf Al-Qardhawi memaknai 
wasathiyah sebagai keseimbangan antara dua sudut yang bertentangan, tidak condong kepada yang satu dan menolak yang lain serta tidak mengambil lebih banyak dari yang lain. 
Dalam tradisi Arab, kata 
wasath mengandung makna kebaikan, keadilan, keunggulan, dan kemuliaan. Kata ini diadopsi dalam dunia sepak bola, yakni wasit. Artinya jika menjadi wasit harus bisa berlaku adil menegakkan kebenaran. Serupa dikatakan oleh Abdullah Ibnu Sulaiman, 
wasathiyah secara syar’i adalah keadilan, kebaikan, pertengahan antara 
ifrad dan 
tafrid yakni tidak berlebihan dan tidak pula sembrono. Atau bisa pula diartikan sebagai keadilan atau jalan tengah yang di dalamnya terkumpul keutamaan. 
“Makna 
ummatan washatan itu tidak bisa diterjemahkan sebagai umat moderat. 
Ummatan wasathan harus dipahami sebagai keutamaan, keadilan, umat yang selalu melakukan kebaikan. Umat yang menyeimbangkan antara materi dengan non materi,” kata Prof Hamid.
Baca Juga: Jaga Aqidah, Toleransi Tidak Harus Membenarkan Semua Agama
Dalam tafsir Rasyid Ridha disebutkan
 ummatan wasathan berarti umat yang adil, proporsional dalam beragama. Artinya tidak 
ghuluw (melampaui batas) dan bukan pula 
ahlul tasahul atau meremehkan agama. Umat wasathan berarti umat yang berada di tengah-tengah antara urusan agama dan urusan dunia. 
“Tidak berlebihan dalam masalah keagamaan seperti orang Nasrani dan tidak berlebihan dalam masalah materi seperti yahudi. Ini tafsir para ulama. Umat Islam tidak materialistik dan tidak pula spiritualistis meninggalkan urusan dunia,” kata Prof Hamid.
Maka dari itu, Rektor Universitas Darussalam Gontor ini mengimbau agar umat Islam berhati-hati terhadap ekstremisme beragama. Ath-Thabari menyebut ekstrem adalah orang-orang yang melampaui batas. Ada orang yang terlalu ekstrem dalam beribadah sehingga melupakan urusan dunia. Demikian pula sebaliknya. 
“Makanya dalam Islam tidak boleh berlebihan dalam menjalankan syariah. Misalnya shalat sepanjang waktu tidak pernah berhenti, atau hidup hanya diisi shalat dan puasa saja. Itu perbuatan tidak yang diajarkan dalam Islam,” pungkas Prof Hamid.
Baca Juga: Rektor Unida Gontor: Rusaknya Ilmu karena Terpisah dari Iman(jqf)