LANGIT7.ID, Jakarta -  Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari beberapa agama. Atas nama toleransi, tak jarang muncul pernyataan bahwa semua agama sama benarnya. Pemahaman semua agama benar bermula dari kajian mengenai agama di barat terkait komparasi agama di berbagai universitas. Kajian-kajian tersebut berakhir pada kesimpulan bahwa tidak ada definisi agama yang final.
Jika mendefinisikan agama dalam perspektif Islam, maka semua agama selain risalah Nabi Muhammad SAW tidak bisa dibenarkan. Hal tersebut karena agama dalam definisi Islam berarti ada Tuhan yang memiliki nama, ada wahyu, ada syariah, hingga aqidah. Poin-poin tersebut tidak ada dalam agama lain. 
Sementara pemahaman yang keliru yang menyamakan semua agama sama merujuk kepada para profesor dalam studi agama-agama di barat. Mereka membuat terobosan menyatukan semua agama dengan berasumsi semua agama sejatinya sama.
Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Prof Dr KH Hamid Fahmi Zarkasyi, menilai sebagian umat Islam di Indonesia terjangkit pemikiran tersebut. mereka menjual ide pluralisme agama yang mulai muncul sejak 2001. Bahkan, ide tersebut marak menjadi tema diskusi di berbagai universitas Islam di Indonesia.
Baca Juga: Rektor Unida Gontor: Rusaknya Ilmu karena Terpisah dari ImanPluralisme, menurut Prof Hamid, bisa bermata dua, karena di dalam kata itu mengandung makna toleransi dan kerukunan. Sementara pluralisme di barat memiliki tiga makna yakni pluralisme yang berarti toleransi atau kerukunan, pluralisme dalam masalah sastra, dan pluralisme yang berarti relatif yang di dalamnya ada relativisme.
“Ketika orang berbicara relativisme, itu artinya bahwa kebenaran itu pluralisme, kebenaran itu banyak bukan hanya satu. Kebenaran dalam konteks apapun di barat, seperti kebenaran kultural dan kebenaran ideologi, tidak satu,” kata Prof dalam kajian MINJAH yang digelar MIUMI, Kamis malam (23/9/2021).
Peradaban barat sekarang ini bukan lagi modern, tapi sudah memasuki era postmodern. Postmodern artinya barat tak lagi berbicara kebenaran yang mutlak atau absolut. Mereka berbicara kebenaran yang banyak. Bagi mereka, kebenaran ada di mana-mana. Paham ini pun sudah menjangkiti sebagian umat Islam di Indonesia.
Baca Juga: Iman Lunturkan Segala Perbedaan, Keimanan Perekat AntarmuslimJadi, kata Prof Hamid, pluralisme sebenarnya adalah relativisme. Namun mereka bersembunyi di balik pluralisme yang bermakna toleransi dan kerukunan. Islam tidak menolak plural yang berarti toleransi dan kerukunan. Orang Islam tidak perlu diajari toleransi.
“Itulah sebabnya, ketika ada orang Islam yang menggunakan pluralisme di mana-mana, MUI memberikan sebuah fatwa yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Fatwa ini tidak salah. Karena yang dimaksud pluralisme oleh MUI adalah yang mengatakan bahwa semua agama sama,” kata Prof Hamid.
Banyak argumentasi yang dibawa oleh pendukung pluralisme. Argumentasi paling populer adalah mencomot ayat dalam Al-Qur’an lalu ditafsirkan sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya Al-Baqarah ayat 69 dan Al-Maidah ayat 62 yang menyebut orang-orang yahudi, majusi, dan nasrani yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh akan masuk surga.
Ayat ini digunakan oleh para pendukung pluralisme sebagai justifikasi semua agama benar. Mereka tidak membaca asbabun nuzul dari ayat tersebut. Ayat itu turun ketika Salman Al-Farisi bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang nasib nenek moyangnya yang beriman kepada Allah dan beramal saleh. Maka ayat itu pun turun.
Jika melihat asbabun nuzul, ayat di atas tidak bisa dijadikan pembenaran pluralisme. Prof Hamid meminta umat Islam untuk mengamalkan Islam secara kaffah. Tak perlu ikut-ikutan paham yang sesat dan menyesatkan.
Baca Juga: Rektor Unida Gontor: Hadapi Pandemi Secara Spiritual dan Medikal(jqf)