LANGIT7.ID–Jakarta; Perdebatan mengenai pemungutan pajak bagi pesantren kembali muncul setelah berbagai laporan menyebutkan bahwa sejumlah lembaga pendidikan Islam tersebut masih dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kondisi ini menimbulkan sorotan karena aturan nasional sebenarnya memberikan pengecualian pajak bagi institusi yang menjalankan fungsi pendidikan dan keagamaan.
Di tengah situasi tersebut, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menilai perlunya langkah cepat pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan di lapangan dengan ketentuan hukum, khususnya setelah keluarnya Fatwa MUI tentang Pajak Berkeadilan pada Munas XI MUI. Ia menyampaikan bahwa pesantren seharusnya tidak lagi menghadapi pungutan yang menghambat tugas sosial dan pendidikan mereka.
Hidayat menegaskan bahwa aspirasi dari pesantren terus mengalir, menunjukkan adanya persoalan struktural yang belum diselesaikan pemerintah. Pesantren yang berstatus nirlaba dinilai telah memenuhi ciri lembaga yang berkontribusi menjalankan amanat konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Dengan adanya Fatwa MUI itu semoga semakin menyegerakan hadirnya koreksi oleh pemerintah atas perpajakan terhadap pesantren," ujar dia dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (27/11/2025).
Aspirasi serupa, menurut anggota Komisi VIII DPR itu, sebelumnya sudah ia sampaikan secara langsung kepada Menteri Agama KH Nasaruddin Umar pada Raker Komisi VIII DPR RI, 11 November 2025. Pada forum tersebut, Hidayat meminta Menag untuk mengajak Kemenkeu dan Ditjen Pajak mendengarkan masukan para pengelola pesantren dan menerapkan ketentuan pajak yang lebih adil.
Hidayat juga mengingatkan bahwa Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 2022 secara eksplisit membebaskan PBB bagi lembaga yang menjalankan layanan kepentingan umum, termasuk bidang pendidikan dan keagamaan. Karena itu, ia menilai pesantren sudah selayaknya masuk kategori yang dikecualikan dari pungutan PBB.
Ia menambahkan bahwa ketentuan mengenai pembebasan pajak juga tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 yang mengecualikan pajak penghasilan atas harta hibah yang diterima badan keagamaan dan badan pendidikan, termasuk pesantren.
Harapan lain yang ia sampaikan adalah percepatan pembentukan Ditjen Pesantren. Hidayat meyakini adanya unit khusus tersebut akan memperkuat dukungan anggaran dan sekaligus memberi ruang advokasi yang lebih kuat terkait masalah pajak yang masih membebani pesantren.
“Semoga Ditjen Pesantren segera terbentuk sehingga selain ada peningkatan dukungan anggaran bagi Pesantren, juga ada advokasi serius dari Pemerintah melalui Kementerian Agama (Direktorat Jendral Pesantren) untuk mengatasi masalah yang memberatkan Pesantren seperti masih dikenakannya pajak bumi dan bangunan,” ujar dia.
Ia juga menilai bahwa setelah kewenangan haji dan umrah tidak lagi ditangani Kemenag, kementerian tersebut semestinya bisa memberikan perhatian lebih besar terhadap lembaga pendidikan keagamaan. Baginya, tugas pesantren dalam membentuk generasi muda menuju Indonesia Emas 2045 semestinya tidak terhambat oleh kewajiban pajak yang seharusnya tidak dibebankan.
Hidayat lalu menutup dengan menekankan pentingnya konsistensi kebijakan pemerintah terhadap fatwa terbaru MUI. Ia menegaskan, “Maka Fatwa MUI yang mementingkan keadilan itu penting segera dilaksanakan secara progresif dan komprehensif.”
(lam)