Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Ahad, 12 Oktober 2025
home masjid detail berita

Dari Seruan Afghani ke Diplomasi Erdogan: Evolusi Pan-Islamisme

miftah yusufpati Jum'at, 29 Agustus 2025 - 05:45 WIB
Dari Seruan Afghani ke Diplomasi Erdogan: Evolusi Pan-Islamisme
Jamaluddin Al-Afghani. Pan-Islamisme adalah paradoks: ia mengusung ukhuwah, tapi berpotensi melahirkan eksklusivisme. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di ruang baca perpustakaan Istanbul, 1892, Jamal al-Din al-Afghani menulis surat berapi-api. Seruannya sederhana tapi radikal: umat Islam harus bersatu melawan kolonialisme. Bukan sekadar bersatu dalam doa, tetapi dalam kekuatan politik. Ide itu kelak dikenal sebagai pan-Islamisme. Sebuah gagasan yang terus menghantui sejarah dunia Muslim, dari abad ke-19 hingga abad ke-21.

Encyclopaedia Britannica menyebut pan-Islamisme sebagai proyek politik yang menyerukan solidaritas umat Islam lintas negara, etnis, dan mazhab. Ide ini lahir di tengah keruntuhan kekuasaan Islam dan penetrasi kolonialisme Barat. Menurut Oxford Islamic Studies Online, pan-Islamisme dipandang sebagai respons strategis untuk menutup retakan internal dan menghadang gempuran eksternal.

Pan-Islamisme bukan produk satu kepala. Ia digarap oleh tiga tokoh kunci: Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rashid Rida. Afghani. Mereka ini oleh Albert Hourani dalam Arabic Thought in the Liberal Age disebut sebagai arsitek ideologi perlawanan Islam modern, menolak kepasifan umat. Ia berkeliling dari Istanbul, Kairo, India, hingga Paris, menggalang jaringan anti-imperialisme. Bagi Afghani, persatuan politik bukan nostalgia romantik, melainkan syarat survival peradaban.

Baca juga: Kapan Islam Mengenal Nasionalisme? Dari Napoleon ke Al-Qur’an

Rashid Rida menyambung gagasan ini melalui majalah Al-Manar. Ia memadukan pan-Islamisme dengan reformasi hukum Islam, sambil menyerukan kembalinya khilafah sebagai simbol kesatuan umat. Tapi ide ini segera bertabrakan dengan gelombang nasionalisme negara-bangsa dan resistensi ulama tradisional. Persatuan umat Islam, pada praktiknya, tak pernah sederhana.

Politik Abdulhamid II: Dari Ide ke Kekuasaan

Sultan Abdulhamid II mungkin adalah penguasa pertama yang mengadopsi pan-Islamisme sebagai strategi politik negara. Sejarawan Bernard Lewis mencatat dalam The Emergence of Modern Turkey bahwa Abdulhamid mengklaim posisi khalifah dunia Islam untuk mengikat loyalitas umat di luar Anatolia.

Ia membangun Kereta Hejaz, menguatkan pendidikan agama, dan mengirim simbol-simbol khilafah ke penjuru koloni Muslim. Namun, politik simbol ini tak mampu membendung badai. Runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah pada 1924 menandai hilangnya pusat gravitasi pan-Islamisme.

Setelah 1924, pan-Islamisme tak mati. Ia bergeser ke jalur non-negara: organisasi sosial, jaringan kultural, dan partai politik. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna pada 1928, menurut John L. Esposito dalam Islam and Politics, adalah salah satu warisannya. Pan-Islamisme menjadi semacam DNA ideologis yang memengaruhi pergerakan Islamis di berbagai belahan dunia.

Baca juga: Sosok KH Syaikhona Kholil Bangkalan: Guru Besar Ulama dan Pelopor Nasionalisme Santri

Abad 21: Kebangkitan dalam Wajah Baru

Hari ini, pan-Islamisme kembali bergaung, meski dalam format hibrida. Analisis Middle East Institute dan The Cairo Review menyoroti Turki di bawah Recep Tayyip Erdogan. Dengan retorika neo-Ottoman, Erdogan menghidupkan simbol-simbol kejayaan Islam: pembangunan masjid monumental, pengiriman bantuan ke dunia Muslim, hingga retorika membela Palestina. Soft power Ankara menjadikan pan-Islamisme bukan sekadar ideologi, tetapi alat diplomasi.

Tak hanya negara, aktor non-negara juga mengusung narasi ini. Isu Palestina, tragedi Rohingya, hingga konflik Kashmir dimanfaatkan oleh berbagai kelompok—dari jaringan filantropi hingga organisasi transnasional—untuk menghidupkan solidaritas umat. Namun, motifnya tak tunggal: ada idealisme, ada juga kalkulasi politik.

Pan-Islamisme adalah paradoks: ia mengusung ukhuwah, tapi berpotensi melahirkan eksklusivisme. Ia bisa menjadi platform perlawanan terhadap hegemoni global, tetapi juga dijadikan retorika kosong oleh penguasa otoriter. Dalam Oxford Academic Journal, para peneliti mengingatkan dua jebakan analisis: pertama, menyamakan pan-Islamisme dengan radikalisme global; kedua, meromantisasi ide persatuan tanpa membedah motif kekuasaan di baliknya.

Dari Afghani ke Erdogan, dari Al-Manar ke Twitter, pan-Islamisme terus berevolusi. Ia bukan lagi sekadar seruan melawan kolonialisme, tapi juga alat soft power, jejaring solidaritas, bahkan branding politik. Memahami pan-Islamisme hari ini adalah memahami dinamika kekuasaan dunia Muslim—antara iman dan kalkulasi, antara idealisme dan pragmatisme.

Baca juga: Masjid di Indonesia Bukan Sekadar Tempat Ibadah, tapi Pusat Peradaban Dunia Islam

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Ahad 12 Oktober 2025
Imsak
04:07
Shubuh
04:17
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan