LANGIT7.ID - , Jakarta - Mantan Sekretaris Jendral Ikatan Arsitektur Indonesia Ariko Andikabina mengatakan banyak orang salah kaprah akan maksud dari rumah
sustainable atau berkelanjutan itu sendiri. Perlu digarisbawahi bahwa rumah dapat dikatakan sustain harus dilihat dari banyak aspek.
"Banyak orang melihat
sustainablity itu dari satu aspek saja, seolah-olah banyak taman berarti rumahnya sudah sustain. Ya itu betul, tapi tidak bisa dijadikan satu-satunya tolak ukur. Misalnya, ada yang tidak mau menggunakan AC, itu kan berarti ia melihat rumah cuma di sisi energi. Atau misal rumah sebisa mungkin menggunakan cahaya alami, berarti yang dibicarakan tentang energi lagi," kata Ariko kepada Langit7, Rabu (2/3/2022).
Baca juga: 4 Pilihan Lampu Hemat Energi agar Tak Boros ListrikMenurut Ariko, rumah
sustainable itu tidak bisa dilihat satu persatu. Tapi harus dilihat dari keseluruhan atau rangkuman dari itu semua.
"Apapun yang digunakan orang-orang dalam membangun rumah dan menyebutnya
sustain, itu harus diapresiasi sebagai langkah untuk membuatnya menjadi lebih baik, tapi bukan cuma satu-satunya itu yang jadi isu," jelas Core Founder Green Building Council ini.
Meski begitu, Ariko melihat rumah
sustainable yang menerapkan konsep vegetasi patut diapresiasi karena ada peluang menghijaukan kembali. Namun, meski begitu tetap ada faktor lain yang tidak menjadi perhatian.
"Misal kira-kira rumah itu ada berapa banyak AC-nya yang akhirnya kita akan berbicara tentang listrik yang berhubungan dengan energi," ucap jebolan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Jika berbicara soal energi, tambah Ariko, maka ada kaitannya dengan jejak karbon, dan seberapa besar yang digunakan. Selain itu, rumah tersebut bisa dilihat dari material yang digunakan.
"Kalau memakai beton, maka ada berhubungan dengan tambang, nah kira-kira berapa bukit lagi yang harus digali untuk menambang? Kalau bukitnya sudah tidak ada untuk digali lagi, kira-kira sustain tidak? Tentu tidak," ungkapnya.
Baca juga: Ciptakan Hunian yang Islami, Perhatikan 5 Posisi Ruangan IniMakanya jika di perhatikan orang-orang Eropa itu saat ini sudah mulai mencari alternatif yang basisnya tanaman jamur, baik mikroba sampai kayu dan bambu, tuturnya.
"Denmark mulai melihat bahwa bambu bisa dijadikan bahan utama pengganti besi untuk bangunan rumah. Mereka sudah mulai riset ke sana karena kalau materialnya ditanam masih bisa diperbarui. Kalau basisnya tambang, Eropa sudah mulai khawatir. Sedangkan Indonesia karena materialnya berlimpah, masih tambang-tambang," jelas Ariko.
Terkait material yang berkelanjutan, idealnya arsitek dan pemilik rumah sama-sama memikirkan bahan apa yang akan digunakan untuk pembangunan rumah.
"Pemilihan materialnya harus sedemikian rupa, tidak digunakan secara berlebihan. Kalau bisa, meminimalisir penggunaan material. Karena bagian dari sustainability kita itu punya isu di materiality. Jadi akan ada waktunya material kita itu habis, kalau sudah seperti itu kita mau menggunakan apa?," pungkas pria kelahiran 1979 ini.
(est)