LANGIT7.ID, - Jakarta - Peristiwa geopolitik baru-baru ini terkait dengan adanya serangan militer Rusia ke wilayah Ukraina telah menimbulkan sejumlah pertanyaan kompleks tentang bagaimana efektivitas hukum internasional.
Serangan militer tersebut dianggap oleh para pengamat hukum internasional sebagai serangan terbesar terhadap negara Eropa sejak Perang Dunia Kedua dan menjadi salah satu tragedi dalam sejarah hukum internasional.
IlegalDalam aturan hukum internasional modern, terdapat ketentuan mengikat yang melarang setiap negara terutama negara yang menjadi anggota Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggunakan kekerasan atau kekuatan bersenjata terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara lainnya.
Baca juga: Ukraina Sebut Pasukan Rusia Serang Masjid Suleiman di MariupolHal itu disebutkan dengan sangat jelas dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB (United Nations Charter) yang merupakan instrumen hukum internasional yang mengatur tentang prinsip-prinsip utama hubungan antar negara-negara di dunia.
Baik secara tekstual dan kontekstual, pasal tersebut dapat dimaknai bahwa setiap negara memiliki kewajiban untuk melakukan segala tindakan yang efektif agar perdamaian dan keamanan dunia tetap terjaga.
Dengan kata lain, ketika timbul perselisihan antara satu negara dengan negara lainnya, maka negara-negara tersebut berkewajiban untuk melakukan tindakan pencegahan serta menahan diri dari penggunaan pendekatan yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia.
Sehingga dalam rangka mewujudkan hubungan internasional yang damai sesuai dengan tujuan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut. Maka perselisihan internasional “harus” diselesaikan dengan cara-cara damai sebagaimana apa yang diamanatkan oleh pasal 2 ayat (3) dari Piagam PBB.
Mekanisme penyelesaian perselisihan internasional dengan cara damai itu sendiri juga telah diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara pihak yang bersengketa harus pertama-tama mencari penyelesaian melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian yudisial serta menggunakan badan-badan regional atau dengan cara damai lainnya yang menjadi pilihan pihak yang bersengketa.
Akan tetapi, larangan atas penggunaan kekerasan atau kekuatan bersenjata dalam hukum internasional pada kenyataanya tidak bersifat absolut. Penggunaan kekuatan bersenjata ini masih dapat dimungkinkan dalam urgensi tertentu yaitu ketika terdapat situasi yang mengharuskan suatu negara untuk melaksanakan hak pembelaan diri (self-defence) berdasarkan pasal 51 Piagam PBB. Dewan Keamanan PBB juga memiliki wewenang untuk mengizinkan penggunaan kekuatan bersenjata tersebut di bawah piagam PBB untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Baca juga: Juru Damai, Posisi Umat Islam di Tengah Konflik Rusia-UkrainaDengan demikian, selain 2 pengecualian itu, maka setiap negara harus memegang teguh ketentuan mengenai larangan penggunaan kekerasan bersenjata yang dapat mengancam integritas teritorial dan kedaulatan negara lain tersebut.
Sedangkan, apa yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina sama sekali tidak memiliki alasan pembenaran atau justifikasi untuk dapat menggunakan kekuatan bersenjata. Karena sekali lagi, sampai saat ini, masih belum ada kondisi yang relevan dan faktual yang dapat menunjukan bahwa Ukraina melakukan serangan yang kemudian dapat memberikan hak kepada Rusia untuk membela diri dan melakukan serangan militer terhadap Ukraina.
Dengan demikian, serangan militer Rusia ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang “ilegal” berdasarkan piagam PBB dan ketentuan hukum internasional.
Posisi sulitSerangan Rusia ke wilayah kedaulatan Ukraina ini menjadi cerminan bahwa hukum internasional untuk sekali lagi memiliki keterbatasan dalam jangkauannya. Pertanyaannya adalah Peran dan mekanisme alternatif apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat internasional guna merespon krisis Rusia-Ukraina ini.
Pertanyaan tersebut penting untuk dipertimbangkan karena Peristiwa ini dapat berimplikasi terhadap kepercayaan masyarakat internasional pada hukum internasional dan bisa menjadi bahan evaluasi dan referensi di masa depan ketika muncul konflik serupa, khususnya yang berkaitan dengan larangan penggunaan kekuatan bersenjata dan perlindungan terhadap integritas teritorial negara-negara yang berdaulat.
Sejatinya, ketika muncul konflik internasional yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia, PBB melalui organ utamanya yaitu Dewan Keamanan PBB dapat mengambil tindakan efektif dalam menanggapi situasi apa pun yang disimpulkan sebagai ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau tindakan agresi, termasuk ketika situasi tersebut disebabkan oleh pelanggaran hak asasi manusia. Dan kewenangan tersebut diatur dalam Bab VII Piagam PBB.
Akan tetapi dalam situasi saat ini, mengharapkan adanya peran dari Dewan Keamanan PBB tampaknya menjadi hal yang tidak mungkin. Itu disebabkan karena Rusia memiliki kursi tetap di DK PBB bersama dengan empat anggota tetap lainnya AS, Inggris, Prancis, dan China yang memegang hak veto yang dapat membatalkan rancangan resolusi apa pun nantinya. Artinya peran dan Gerak DK PBB akan sangat terbatas.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Beresiko Hambat Pertumbuhan EkonomiMekanisme lain adalah, Ukraina (sebagai pihak yang diserang) memiliki cukup alasan untuk dapat “mengaktifkan” penggunaan pasal 51 Piagam PBB tentang Pembelaan diri jika diserang baik secara mandiri atau kolektif. Tetapi pertanyaannya, negara mana yang cukup berani untuk ikut “melibatkan” dirinya dalam pusaran konflik ini? Rasanya tidak ada.
Selanjutnya, Majelis Umum PBB juga dapat membuat resolusi atau rekomendasi perdamaian melalui prosedur “Uniting For Peace. Akan tetapi, resolusi yang dikeluarkan oleh majelis umum PBB ini tidak akan cukup efektif karena resolusi tersebut hanya mengikat secara moral.
Dengan kata lain, masyarakat internasional dan PBB pada saat ini berada pada posisi yang sulit.
Hal fundamentalAkan tetapi terlepas dari hal tersebut, terdapat hal fundamental yang perlu untuk terus ditekankan bahwa konflik bersenjata antara Rusia - Ukraina ini harus segera dihentikan untuk mencegah hilangnya nyawa lebih banyak lagi dari penduduk sipil ukraina yang tidak bersalah.
Karena hingga saat ini, konflik bersenjata ini telah menewaskan lebih dari 550 orang dari pihak militer dan warga sipil Ukraina, termasuk anak-anak (Laporan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR).
Dan juga telah menyebabkan kehancuran yang masif dan dalam skala besar pada infrastruktur sipil yang vital, seperti rumah, apartemen, sekolah dan rumah sakit. Dan telah memaksa lebih dari 2.5 juta penduduk Ukraina mengungsi ke sejumlah negara tetangga.
Masyarakat internasional harus bisa membantu Rusia dan Ukraina menuju genjatan senjata dengan pertama-tama mendorong Rusia dan Ukraina ke meja perundingan, atau menjadi mediator dan fasilitator perundingan bagi kedua negara.
Akan tetapi pada akhirnya, “jalan terakhirnya” berada di tangan Rusia. Kepatuhan Rusia untuk mau menegakan hukum internasional serta komitmennya untuk mau menempatkan perdamaian dan stabilitas kawasan sebagai prioritas merupakan hal yang paling krusial. Dengan kata lain “Rusia yang Memulai, Rusia juga yang harus mengakhiri”.
Penulis:
Ogiandhafiz Juanda, S.H., LL.M., C.L.A. C.P.Arb., C.MeAdvokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional & HAM Universitas Nasional (UNAS), Direktur Treas Constituendum Institute, Lulusan Master Bidang Hukum Internasional dan Keadilan Global dari Universitas Sheffield, UK(est)