Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Sabtu, 20 April 2024
home sosok muslim detail berita

Nasaruddin Umar, Imam Besar yang Mendakwahkan Hak-hak Perempuan

Muhajirin Selasa, 09 Agustus 2022 - 20:33 WIB
Nasaruddin Umar, Imam Besar yang Mendakwahkan Hak-hak Perempuan
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar (foto: LANGIT7.ID/Muhajirin)
skyscraper (Desktop - langit7.id)
LANGIT7.ID, Jakarta - Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA merupakan cendekiawan muslim kelahiran Ujung-Bone, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 1959. Mantan Wakil Menteri Agama RI periode 2011-2014 itu kini menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta.

Umar kecil menyelesaikan pendidikan di SDN Ujung-Bone pada 1970. Setelah itu, dia mendalami ilmu agama di Pesantren As'adiyah Sengkang dari 1971 sampai 1976. Di pesantren ini, Umar mulai resah dengan melirik bidang kesetaraan gender dalam perspektif Al-Qur’an.

“Masalah gender, saya memang ada kegelisahan semenjak di pondok pesantren,” kata Nasaruddin saat ditemui LANGIT7.ID di Masjid Istiqlal, Senin (8/8/2022).

Dia melihat keberadaan perempuan kerap terpinggirkan dari masyarakat. Padahal, Islam sangat memuliakan Perempuan. Di sisi lain, dia tak sepaham dengan gender equality yang menyamakan perempuan dan laki-laki secara total.

Laki-laki dan perempuan memiliki karakter biologis yang berbeda. Contoh paling dasar perempuan bisa hamil dan melahirkan, tapi laki-laki tidak bisa. “Jadi, bagaimana bisa disamakan secara total,” kata Prof Nasar.

Baca Juga: Nasaruddin Umar Bawa Istiqlal Jadi Masjid yang Melampaui Zaman

Keresahan itu dia bawa sampai di bangku kuliah. Dia pernah tercatat sebagai sarjana muda di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang pada 1980. Kemudian, menyandang gelar sarjana lengkap (sarjana teladan) dari fakultas yang sama pada 1984.

Selanjutnya, dia mengambil program S2 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1990-1998. Program S3 di kampus yang dengan disertasi tentang "Perspektif Jender dalam Al-Qur’an" pada 1993-1998.

Tak hanya di dalam negeri, Prof Nasar pernah menjadi Visiting Student di Mcgill University Canada pada 1993-1994 dan mengikuti Sandwich program di Paris University pada 1995. Dia juga pernah melakukan penelitian kepustakaan di beberapa perguruan tinggi di Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Belanda, Belgia, Italia, Angkara, Istanbul, Srilanka, Korea Selatan, Saudi Arabia, Mesir, Abu Dhabi, Yordania, Palestina, Singapore, Kuala Lumpur, dan Manila.

Lalu, pada 12 Januari 2002, Prof Nasar dikukuhkan menjadi Guru Besar dalam bidang Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah. Dia sudah menelurkan banyak karya ilmiah dan menulis buku, di antaranya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Paramadina, 1999) yang menjabarkan hasil penelitian bias gender dalam Qur’an.

Dalam buku itu, Prof Nasar menjelaskan, bias gender terjadi di tengah masyarakat bukan berasal dari teks agama yakni Al-Qur’an dan Hadits. Bias gender muncul karena penafsiran teks agama yang didasari androsentrisme dan paternalisme.

“Jadi, tradisi androsentris yang sangat laki-laki itu digunakan untuk memahami Al-Qur’an dan hadits. Jadi, alam bawah sadar mereka sebagai laki-laki memahami Al-Qur’an,” kata Prof Nasar.

Baca Juga: Imam Besar Istiqlal: Kesetaraan Gender dalam Islam Beda dengan Feminisme

Dia menegaskan, Al-Qur’an sangat memuliakan Al-Qur’an. Contoh paling konkret terdapat pada Ratu Balqis, seorang pemimpin perempuan super power yang berhasil mendapat predikat Baldatun Thayyibatun wa rabbun ghafur.

Rasulullah pun sangat memuliakan perempuan. Di Masjid Nabawi ada majelis khusus untuk para wanita. Hadits-hadits pun banyak diriwayatkan oleh perempuan, seperti hadits dari ibunda Aisyah RA. Intinya, kesetaraan gender berarti menempatkan perempuan secara proporsional.

“Apa yang layak bagi Perempuan, kita berikan,” kata Prof Nasar.

Dia juga prihatin akan sedikitnya jumlah ulama perempuan. Padahal sejak dahulu ada banyak ulama perempuan.

"Tidak ada larangan bagi perempuan untuk jadi ulama. Bahkan Ketua MUI boleh dipimpin oleb perempuan.

Itulah yang mendorong Prof Nasar menggagas Program Kaderisasi Ulama Perempuan di Masjid Istiqlal. Program setara S2 dan S3 itu bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.

Tokoh yang Menyerukan Dialog Lintas Agama


Selain fokus di bidang kesetaraan gender perspektif Al-Qur’an, Prof Umar juga merupakan salah satu tokoh yang mengkampanyekan dialog lintas agama. Pada bidang ini, dia mendirikan organisasi lintas agama untuk Masyarakat Dialog antar Umat Beragama.

Dia berkeyakinan, Indonesia bisa damai seperti saat ini karena umat beragama hidup berdampingan di bawah naungan Bhineka Tunggal Ika. Meski berbeda dalam keyakinan, namun tetap sama dalam kemanusiaan. Keyakinan menjadi urusan setiap individu dengan Tuhan Yang Maha Esa.

“Mari kita menjadi satu bangsa yang tegar, jangan gontok-gontokan, jangan konflik. Kalau konflik terjadi, yang kalah jadi abu, menang jadi arang. Tepuk tangan seluruh dunia, karena Indonesia bisa dikavling-kavling jadi beberapa negara,” ujar Prof Nasar.

Selama umat beragama kompak dan bersatu, maka tidak ada satupun kekuatan yang bisa meruntuhkan Indonesia. Konflik agama tidak akan terjadi, karena semua bisa hidup berdampingan tanpa perlu saling menyalahkan.

“Lukisan itu indah kalau ada warna kontrasnya. Itulah Indonesia. Indonesia adalah lukisan Tuhan, bukan ciptaan Indonesia sendiri,” ungkap Prof Nasar.

Mendakwahkan Moderasi Beragama

Prof Nasar aktif mendakwahkan moderasi beragama. Islam menolak ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Namun, moderasi tidak bisa disejajarkan dengan liberalisasi ataupun westernisasi. Moderasi dalam bahasa Al-Qur'an adalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin.

"Moderasi itu tidak boleh identik dengan liberalisasi. Moderasi juga tidak bisa diidentikkan dengan westernisasi. Moderasi juga tidak bisa diartikan dengan kebablasan," kata Prof Nasar.

Baca Juga: Imam Besar Istiqal: Moderasi Beragama Bukan Liberalisasi dan Westernisasi

Dia menjelaskan, moderasi beragama berarti mengembalikan Islam ke jati dirinya sendiri. Islam itu sudah moderat. Moderat secara bahasa maupun makna. Dalam ilmu sharaf kata Islam berada di tengah-tengah, tidak as-salam maupun istaslam.

“Jadi, moderasi Islam itu kembalikan Islam kepada islam pada masa nabi, rahmatan lil-alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta),” ujar Prof Nasar.

Kiprah dan fokus dakwah Prof Nasar itu membuat Presiden Joko Widodo mengangkatnya menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal pada 22 Januari 2016 silam.

“Waktu itu saya tengah perjalanan ke Bogor, tiba-tiba ditelpon untuk dilantik menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal,” kata Prof Nasar.

(jqf)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Sabtu 20 April 2024
Imsak
04:27
Shubuh
04:37
Dhuhur
11:55
Ashar
15:14
Maghrib
17:53
Isya
19:03
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan