LANGIT7.ID, Jakarta - Sebagian
bencana terjadi karena ulah manusia. Tapi dalam penjelasan ilmiah, banyak juga bencana karena ada perubahan tata alam bumi seperti gempa tektonik.
Beberapa masyarakat memiliki cara pandang yang keliru terhadap bencana. Mereka kadang merespons bencana dengan
ritual-ritual mistik.
Kondisi ini tentu membuat Allah SWT semakin murka. Sebab bencana yang menyengsarakan justru malah melahirkan
kesyirikan.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, Muchammad Ichsan mengatakan, perilaku ini malah bisa mendatangkan bencana.
Baca Juga: Percepat Penanganan Bencana, MUI Bentuk LBP di Setiap Provinsi"Karena itulah kami membuat buku Fikih Kebencanaan sebagai tuntunan untuk menghindari perilaku yang salah," kata dia dilansir laman Muhammadiyah, Kamis (8/9/2022).
Menurut Ichsan, jika dilihat dari sunnatullah, banyak kejadian alam adalah murni disebabkan oleh perubahan tata alam.
Misalnya gempa disebabkan oleh pergeseran lempeng bumi, gunung berapi yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan perut bumi, dan lain-lain.
Peristiwa tersebut hampir tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan perilaku dan sikap manusia terhadap agama dan alam sekitarnya.
"Ini adalah proses alamiah yang diciptakan oleh Allah SWT dalam mengurus alam ini, yang pasti mengandung berbagai hikmah dan manfaat untuk kehidupan," ujarnya.
"Di sinilah sebenarnya cara pandang manusia akan menentukan sikapnya terhadap kejadian alam tersebut, apakah secara positif atau negatif," tambahnya.
Namun harus diakui, ujar Ichsan, memang ada pula bencana yang terkait dengan perilaku manusia. Umumnya terjadi akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh eksploitasi manusia.
Banyak orang yang melakukan tindakan-tindakan yang menurut perhitungan nalar pun berpotensi menimbulkan bencana. Misal deforestasi atau penebangan pohon di hutan, dan sebagainya.
Menurut Ichsan, dalam ajaran Islam, kerusakan yang terjadi di bumi ini diyakini sebagai akibat kesalahan tindakan manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya.
Kesalahan tindakan manusia terjadi karena yang bersangkutan tidak mampu mengendalikan dan menyeimbangkan hak, kewajiban, dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah-Nya.
(bal)