LANGIT7.ID, Jakarta - Mantan Presiden RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyebut pesantren sebagai subkultur tersendiri dalam sejarah. Pesantren selalu konsisten dengan sikap nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.
Dalam buku Abdurahman Wahid yang diterbitkan Jakarta LP3ES, 1974 disebutkan, salah satu wujud rasa cinta Tanah Air pesantren terimplementasi melalui perjuangan yang gigih melawan kolonialisme Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Maka, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pesantren tidak hanya menjadi basis edukasi bagi masyarakat, khususnya pedesaan. Pesantren juga berperan sebagai pusat perlawanan terhadap bangsa kolonial.
Baca Juga: Peran Ulama dalam Pertempuran 10 November 1945 Dengan slogan jihad fi sabilillah para ulama’ pesantren menjadi motor penggerak perjuangan, bersama-sama dengan rakyat berperang melawan belanda dan sekutu. Oleh karena itu, muncul sederet nama pahlawan yang notabene berasal dari lingkungan pesantren, misalnya KH Hasyim Asy’ari.
Almarhum Azyumadri Azra dalam buku 'Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII' menjelaskan, ulama-ulama Nusantara di Makkah telah meletakkan dasar bagi terciptanya jejaring ulama di Nusantara uyang kemudian menjadi komonitas Ulama. Selain membangun pesantren, ulama memiliki hubungan kuat dalam bidang spritual maupun intelektual.
Azra mengatakan, ulama jawi yang kembali ke Tanah Nusantara membentuk sebuah kelommpok sosial yang berorientasi kepada pemahaman Islam dan pencapain kekuatan sipritual. Atas dasar itu pula, para ulama membangun otoritas di tengah komonitas muslim. Salah satu komponen komunitas itu adalah sufisme yang menjadi unsur penting dalam Pendidikan pesantren.
Halaqah yang terbangun di Mekkah telah meningkatkan otoritas ulama dan pada akhirnya membentuk jejaring yang kokoh. Proses ini juga didukung tradisi pesantren yang sangat menekankan ketaatan santri kepada guru, yang diakui sebagai pembimbing spritual sepanjang hidup.
Baharun, H. dalam buku Total Moral Quality: A New Approach for Character Education in Pesantren mengatakan, dengan berbekal ketaatan yang kokoh santri terhadap guru, pesantren mampu melahirkan alumni yang memiliki multikompetensi, kompetensi keilmuan, keagamaan dan akhlakul karimah.
Baca Juga: 8 Pahlawan Pejuang Kemerdekaan Indonesia dari Kalangan SantriKelestarian sebuah pesantren menjadi faktor penting memperkuat jejaring yang sudah dibangun dalam mempertahankan eksistensinya. Solid dan luasnya hubungan tali kekerabatan antarkiai telah menghasilkan integrasi dan persatuan para Kiai.
Baharun mencontohkan KH Hasyim Asyari yang bermuara kepada Kiai Abdus Salm, seorang kiai yang dulu Bersama para ulama menjadi penopong utama Perang Jawa Diponegoro
Ahmad Royani dalam Jurnal Pesantren dalam Bingkai Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia menegaskan, kiprah pesantren dan umat Islam sangat besar dalam membangun jiwa nasionalisme dalam merebut kemerdekaan.
Douwes Dakker mengatakan “jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejaranya sehingga mencapai kemerdekaan”.
Menurut Ahmad Royani, kiprah pesantren dan umat Islam cukup besar karena para tokoh pergerakan nasional tidak dapat dilepaskan dari dunia pesantren dan spirit Islam. Pondok pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pondok pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral.
Laskar Pesantren Malawan Penjajah BelandaAhmad Fauzi dalam buku Transkulturasi Social Capital Pesantren; Sebagai Paradigma Pendidikan Islam Moderat mengatakan, wujud nyata peran pesantren dalam memerjuangkan dan memertahankan kemerdekaan Indonesia tercermin dalam Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
Resolusi jihad itu dikumandangkan sebagai jawaban para ulama pesantren. Seruan itu didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkan setiap muslim untuk membela Tanah Air dan mempertahankan kemerdekaan dari serangan penjajah.
Berbekal fatwa jihad itu, santri dan ulama pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama-santri dari berbagai daerah di garda depan pertempuran. Resolusi Jihad juga membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa.
Saifudin Zuhri dalam buku 'Guruku Orang-Orang Pesantren' mencatat, pada 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar. Laskar paling popular adalah laskar Hisbullah dan sabilillah. Dalam kurun waktu itu, kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik.
Laskar Hizbullah dan sabilillah didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang. Laskar ini mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di kabupaten bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual KH Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH Zaenul Arifin. Adapun Laskar Sabilillah dipimpin oleh KH Masykur.
Baca Juga: Daniel Mananta Sowan ke UAS, Kunjungi Masjid hingga Makan Durian Bareng(zhd)