LANGIT7.ID, Jakarta - Kepala Pusat Studi Islamisasi Sains Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Dr. Wido Supraha, menjelaskan, Islam hanya akan menjadi rahmat bagi semesta alam (
rahmatan lil-alamin) jika ditegakkan.
Jika Islam hanya menjadi kajian di ruang-ruang tertutup, maka hanya akan memuaskan intelektual manusia. Tetapi, tidak mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang sangat diharapkan bagi umat manusia. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-An’am ayat 165:
“Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu beberapa derajat atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat hukuman-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Baca Juga: Politik dalam Khazanah Islam, Tak Boleh Bertentangan dengan Syariat
"Jika nilai-nilai Islam tidak tegak kecuali dengan kekuasaan, maka kekuasaan menjadi penting untuk dimiliki. Kekuasaan sangat dibutuhkan bagi penegakan agama (iqamah ad-din) dan menyatukan ummat agar tidak saling berpecah belah. Hal ini ditegaskan dalam Surah Asy-Syura ayat 13,” kata Wido Supraha dalam kajian Insists Saturday Forum Insists yang diikuti Langit7 secara daring, Sabtu (28/1/2023).
Wido Supraha menyebut seringkali kaum sekuler memaksakan pendapatnya agar agama hanya diletakkan pada ranah privat saja, atau dibatasi hanya pada masjid yang berkiblat pada negara saja. Padahal, berhukum dengan hukum Allah Ta’ala menjadi pondasi pemikiran politik paling asasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-Ahzab ayat 36.
Pengakuan Allah sebagai Penguasa Hukum (Al-Hakim) telah disepakati oleh kaum muslimin. Imam al-Ghazali dalam karyanya
Al-Mustashfa menjelaskan, berkenaan dengan pelaksanaan hukum, semua itu hanyalah milik Dzat yang memiliki makhluk dan segala urusan.
“Sesungguhnya yang melaksanakan hukum adalah Yang Maha Memiliki terhadap semua yang dimiliki-Nya, padahal tidak ada Pemilik kecuali Sang Khalik, sehingga tidak ada ketetapan hukum dan tidak ada perintah kecuali hanya milik-Nya.” Kata Al-Ghazali dalam kitabnya.
Baca Juga: PKB Sebut Harus Ada Tokoh Islam yang Jamin Masa Depan Politik Umat
Sementara para pemimpin seperti nabi, sultan, pemimpin, ayah, dan suami, apabila mereka memerintahkan atau mewajibkan sesuatu, maka sesuatu yang diwajibkan itu tidak menjadi wajib karenanya. Alih-alih yang wajib bagi mereka adalah taat kepada Allah sebagaimana yang diwajibkan-Nya.
“Karena, kalau tidak seperti itu, maka setiap makhluk dapat mewajibkan sesuatu terhadap makhluk lain, sehingga pihak yang mewajibkan dapat menuntut dari pihak yang diwajibkan. Padahal tidak ada satupun dari mereka yang lebih utama daripada yang lain,” kata Wido Supraha.
Jadi, yang sebenarnya wajib adalah taat kepada Allah dan taat kepada siapa pun yang Allah wajibkan untuk menaatinya. Maka itu, kekuasaan mensyaratkan adanya kepemimpinan (imamah) yang dipimpin oleh sosok yang adil dengan segala syarat.
Di antara syarat itu adalah berilmu sehingga mampu berijtihad terhadap kasus dan hukum, sehat inderawi sehingga mampu menangani permasalahan, tidak cacat sehingga bergerak dengan sempurna dan cepat, berwawasan, berani dalam melindungi wilayah dan melawan musuh, serta mendahulukan nasab Quraisy.
Baca Juga: UBN Tekankan Pentingnya Persatuan Umat Hadapi Tahun Politik
Kata al-imam dalam bentuk tunggal tersebut dalam Al- Qur’an di beberapa tempat seperti dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 124 dan Q.S. Al-Furqan ayat 74. Begitupun dalam bentuk jamak (a’immah) seperti dalam Q.S. Al-Anbiya ayat 73 dan Q.S. Al-Qashash ayat 5. Meski kata imam yang dinisbatkan pada keburukan juga tersebut, seperti dalam Q.S. At-Taubah ayat 12 dan Al-Qashash ayat 41.
“Bagi Imam an-Nasafi, imamah adalah ‘wakil Rasulullah SAW dalam urusan menegakkan agama yang wajib diikuti oleh umat’. Pandangan itu juga selaras dengan penulis Al-Mawaqif, Imamah adalah pengganti Rasul SAW dalam menegakkan agama di mana seluruh umat wajib mengikutinya’,” kata Wido Supraha.
Kata imamah lebih sering digunakan oleh Ahlussunnah dalam tema akidah dan fikih. Sementara, kata khilafah lebih sering dalam karya sejarah. Syi’ah menggunakan kata imamah sebagai kepemimpinan agama dan menjadikannya sebagai salah satu rukun iman. Sementara, khilafah bagi mereka adalah kepemimpinan negara.
Pembedaan kata imamah dan khalifah juga digunakan oleh Rafidhah Bathiniyah dan sebagian Mu’tazilah. Namun begitu, sejatinya kaum muslimin sudah menggunakan istilah imamah sebelum Syi’ah memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.
Kata khilafah sendiri dibedakan dengan kerajaan oleh ulama. Ibnu Khaldun menjelaskan, kerajaan biasa akan mengatur seluruh umat berdasarkan tujuan dan nafsu, sementara politik mengatur umat berdasarkan akal untuk maslahat dan menolak mudharat.
Baca Juga: Grand Syaikh Azhar: Khilafah Ajaran Islam, Bentuk Negara Sesuai Perkembangan Zaman
Adapun khilafah mengatur umat berdasarkan pandangan syari’at dalam mewujudkan maslahat ukhrawi dan duniawi yang akan kembali kepadanya.
Sementara, Imam al-Mawardi (972-1058 M) terkait wajibnya segera ada kepemimpinan mengatakan, jika imamah (kepemimpinan) telah diketahui sebagai hal yang wajib menurut syariat, maka status wajibnya imamah adalah fardhu kifayah seperti jihad dan mencari ilmu.
Artinya, jika imamah telah dijalankan oleh orang yang berhak menjalankannya, maka imamah telah gugur dari orang lain. Jadi status hukum imamah adalah fardhu kifayah. Namun, jika tidak ada orang yang menjalankan tugas imamah, maka harus ada dua pihak yakni dewan pemilih yang bertugas memilih imam bagi umat, serta dewan imam yang bertugas mengangkat salah seorang dari mereka sebagai imam.
Setelah terpilihnya imam berbasis musyawarah, al-Mawardi melanjutkan 19 hal yang perlu ditegakkan, yakni menteri, pemimpin daerah, panglima militer, pendidikan jihad dan penanganan para pemberontak, hakim, wali pidana, naqib penjaga nasab, imam shalat, serta amirul haj.
Kemudian, amil sedekah (zakat), pengurusan fai’ dan ghanimah, peraturan jizyah dan pajak, peraturan tentang daerah-daerah yang berbeda status, menghidupkan lahan mati dan pengeboran air, pengurusan wilayah protektorat/konservasi dan fasilitas umum, pemberian tanah, administrasi kenegaraan, hukum seputar kriminalitas, dan dewan pengawasan (hisbah).
(jqf)