LANGIT7.ID, Jakarta - Dalam Islam, kata politik disetarakan dengan kata siyasah (سياسة) dari bahasa Arab. Kata siyasah bisa bermakna ulat atau ngengat yang menggerogoti pohon atau kutu busuk yang menggerogoti kulit.
Namun, dalam makna positif, kata siyasah bisa bermakna pengaturan, pengasuhan, pendidikan, dan perbaikan atau pelaksanaan sesuatu yang maslahat. Politik berarti cara melayani beragam kepentingan rakyat demi kemaslahatan mereka.
Dalam kitab Ath-Thuruq al-Hukmiyyah karena Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350 M), terdapat kutipan pemikiran Ibn Aqil (1040-1119 M), di dalam hukum bolehnya kekuasaan politik syar’i, terkandung ketentuan yang menyatakan bahwa hukum pelaksanaannya adalah wajib.
Baca Juga: Grand Syaikh Azhar: Khilafah Ajaran Islam, Bentuk Negara Sesuai Perkembangan Zaman
Kepala Pusat Studi Islamisasi Sains Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Dr. Wido Supraha, menjelaskan, pendapat tersebut telah dinyatakan oleh semua imam. Imam Syafi’i mengatakan, “Tidak ada siyasah kecuali hanya yang sesuai dengan syari’at.”
Siyasah adalah tindakan apapun yang mendekatkan manusia kepada kebaikan dan menjauhkan manusia dari kerusakan. Walaupun tindakan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan tidak pernah ada wahyu yang diturunkan tentangnya.
“Oleh karena itu, apabila yang dimaksud dari ucapan anda “kecuali hanya yang sesuai dengan syari’at” adalah “tidak menyimpang dari apa yang disampaikan oleh syari’at”, maka itu benar. Akan tetapi apabila yang Anda maksud dengan hal itu adalah bahwa tidak ada siyasah yang benar kecuali hanya yang telah disampaikan oleh syari’at, maka itu keliru dan mengandung tindakan menyalahkan sahabat,” kata Wido Supraha dalam kajian Insists Saturday Forum yang diikuti Langit7 secara daring , Sabtu (28/1/2023).
Baca Juga: Indonesia Bukti Kuat Islam Selaras dengan Demokrasi
Dalam konteks
as-siyasah syar’iyyah, banyak karya-karya ulama yang menggunakan metode fikih syar’I sebagai panduan penguasa dalam membangun tata hukum administrasi pemerintahan. Mereka juga menyusun perangkat-perangkat dan indikator keberhasilannya. Di antara kitab-kitab karya itu di antaranya:
1. Tata hukum menyeluruh yang bersifat luas- Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah karya Abul Hasan ‘Ali Muhammad al-Mawardi (972-1058 M)
-
Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, karya Abu Ya’la al-Hanbali (990-1066 M).
“Kitab ini lebi tebal dari karya al-Mawardi, dan isinya ditulis dengan berpegang pada madzhab Hanbali sementara karya al-Mawardi berpegang pada madzhab Syafi’i. Namun kedua Qadhi al-Qudhat ini disebutkan belum pernah saling bertemu,” kata Wido Supraha.
2. Tata hukum pemerintahan dalam mengendalikan politik dalam negeri-
As-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah, karya Abul ‘Abbas Ibn Taimiyyah (1263-1328 M).
“Kitab ini ditulis hanya dalam semalam, atas permintaan Gubernur Qais al-Manshuri ketika singgah di Ghazza untuk menulis tentang cara memimpin rakyat dan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh penguasa bersama rakyat,” ujar Wido Supraha.
3. Tata hukum dalam memutuskan perkara dan perangkat yang dibutuhkan untuk menegakkan keadilan-
Ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah (1292-1350 M)
4. Fiqh terkait masalah yang tidak memiliki dalil yang rinci dan masalah yang dapat mengalami perubahan dalam landasan hukum
- Al-Kharaj, karya Abu Yusuf (738-798 M)
- As-Siyasah asy-Syar’iyyah, karya Ibrahim bin Yahya Khalifah atau Deduh Afandi (w.973 H)
Termasuk karya-karya tambahan lainnya yang dapat dirujuk seperti Ghiyats al-Umam karya Imam al-Haramain asy-Syafi’i (w. 476 H), Al-Hisbah karya Ibn Taimiyah (w. 751H), Tahrir al-Ahkam fi Tadbir ahl al-Islam karya Ibn Jama’ah (w. 749 H), Al-Kharaj karya Yahya bin Adam al-Qurasyi (204 H), Al-Amwal karya Abid Qasim bin Salam (w.224 H).
Baca Juga: MUI: Boleh Bicara Politik di Masjid, Tapi Bukan Tindakan Politik Praktis
Ada pula kitab Al-Amwal karya Hamid bin Zanjawih, juga Al-Istikhraj fi Ahkam al-Kharaj karya Ibn Rajab al-Hanbali (w. 795 H). Di antara karya sejarah yang otoritatif menjadi referensi adalah karya Ibn Qutaibah berjudul Al-Imamah wa as-Siyasah.
“Memahami fiqih dalam berpolitik sangatlah penting karena cakupan bahasannya berikut dampak politik pada seluruh aspek kehidupan umat manusia,” ujar Wido Supraha.
Syekh Yusuf Al-Qaradhawy menjelaskan, fikih politik syar’i mencakup hubungan antara individu dengan negara, antara pemimpin dan yang dipimpin, antara penguasa dan rakyat, atau antara pemerintah dengan warga negara.
Pembahasan fikih tentang politik syar’i di masa hari ini akhirnya berkembang dalam beberapa disiplin pembahasan, seperti Fikih Negara (fiqh dauli), Fikih Pemerintahan (fiqh idari), Fikih Konstitusi (fiqh dusturi), dan Fikih Harta (fiqh mali). Semua disiplin di atas masuk pada pengkajian Politik Syar’i atau Politik Islami.
(jqf)