LANGIT7.ID-, Jakarta- - Dalam dunia yang serba cepat dan penuh godaan kuliner, kisah seorang ulama ternama abad ke-13 memberi pelajaran berharga tentang hubungan antara pola makan dan pencapaian spiritual. Imam An-Nawawi, tokoh yang dikenal luas di kalangan Muslim, menjalani gaya hidup yang menginspirasi banyak orang hingga saat ini.
Ustaz Adi Hidayat, seorang cendekiawan Muslim kontemporer, baru-baru ini menyoroti aspek menarik dari kehidupan Imam An-Nawawi yang jarang dibahas: kebiasaan makannya yang sangat sederhana namun penuh makna.
"Imam An-Nawawi hanya makan sekali sehari, itu pun setelah salat Isya," ungkap Ustaz Adi dalam sebuah ceramah di media sosial. "Menu utamanya hanya kue kering dan zaitun, dengan minum air sebelum subuh. Ini bukan hanya tentang kesederhanaan, tapi juga tentang kedisiplinan dan fokus pada ibadah."
Yang lebih menarik, hampir seluruh asupan makanan An-Nawawi berasal dari ayahnya sendiri. "99% makanan beliau dipastikan halal dan disiapkan langsung oleh sang ayah," tambah Ustaz Adi. Fakta ini menyoroti pentingnya peran keluarga dalam membentuk kebiasaan hidup yang baik.
Meski hidup di era keemasan Islam dengan berbagai hidangan lezat tersedia, An-Nawawi memilih untuk tetap sederhana. Ia hanya sesekali makan di luar rumah, itupun dalam acara-acara tertentu dan selalu memastikan kehalalan makanannya.
"Kebiasaan makan An-Nawawi bukan tentang pembatasan diri semata," jelas seorang ahli gizi Islami yang tidak ingin disebutkan namanya. "Ini lebih kepada menjaga keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Pola makan sederhana membantu menjaga kejernihan pikiran dan kedekatan dengan Sang Pencipta."
Kisah An-Nawawi ini menjadi refleksi menarik di tengah tren diet dan gaya hidup sehat yang marak saat ini. Banyak orang mulai menyadari bahwa apa yang kita makan tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental dan spiritual.
"Dalam ajaran Islam, makanan bukan sekadar nutrisi untuk tubuh," ujar seorang imam masjid lokal. "Makanan halal dan thayyib (baik) juga berfungsi sebagai 'bahan bakar' untuk ibadah dan amal saleh. Kisah An-Nawawi mengingatkan kita akan prinsip dasar ini."
Menariknya, meski dengan pola makan yang sangat sederhana, An-Nawawi mampu menulis banyak karya yang hingga kini masih dipelajari di berbagai penjuru dunia. Ini menunjukkan bahwa kesederhanaan dalam hal makanan tidak menghalangi produktivitas dan kreativitas seseorang.
"Kita hidup di zaman di mana makanan sering kali menjadi sumber kesenangan utama," kata seorang psikolog Muslim. "Kisah An-Nawawi mengajak kita untuk memikirkan kembali hubungan kita dengan makanan. Apakah kita makan untuk hidup, atau hidup untuk makan?"
Cerita ini juga menyoroti pentingnya niat dalam setiap aspek kehidupan, termasuk makan. An-Nawawi tidak hanya makan untuk bertahan hidup, tapi juga sebagai bentuk ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Di tengah gaya hidup serba instan dan konsumtif, kisah An-Nawawi menawarkan perspektif baru tentang makna kesuksesan dan kebahagiaan. Jadi, rahasia hidup yang berkah dan bermanfaat tidak terletak pada kelimpahan materi, tapi pada kesederhanaan yang dijalani dengan penuh kesadaran dan kebersyukuran.
(lam)