Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 27 Maret 2025
home edukasi & pesantren detail berita

Hukum Mengenakan Cadar bagi Muslimah Menurut NU, Muhammadiyah dan Salafi

miftah yusufpati Kamis, 06 Februari 2025 - 05:45 WIB
Hukum Mengenakan Cadar bagi Muslimah Menurut NU, Muhammadiyah dan Salafi
Menurut Jumhur ulama, bagian tubuh yang boleh tampak dari seorang perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID--Cadar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan). Dari arti kata cadar tersebut, dapat dipahami bahwa cadar adalah suatu nama yang diperuntukkan bagi pakaian yang berfungsi untuk menutup wajah bagi perempuan.

Secara historis, jilbab dan cadar sudah ada sejak sebelum Islam datang. Jilbab dikenal di Yunani, Romawi, Yahudi, dan Asyria. Jilbab yang berlaku di dunia Islam menurut Karen Armstrong sebagai imitasi dari kebudayaan Kristen Yunani Byzantium yang telah lama mempraktikkan budaya kerudung dan memisahkan kaum perempuan mereka.

Jilbab tidak hanya untuk agama Islam diperjelas oleh Fatwa Elguindi bahwa berjilbab awalnya berasal dari bangsa Mesopotamia atau Persia, dan kaum Hellenis atau Byzantium sebagai asal mula pemingitan.

Justru persepsi yang lebih populer adalah jilbab itu lebih diasosiasikan pada wanita Arab dan Islam, walaupun bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa jilbab telah lama ada di luar wilayah budaya Arab.

Dalam hal ini, jilbab secara visual dan simbolis merupakan pengingat akan agama konservatif dan identitas.

Baca juga: Perdebatan Soal Cadar: Berikut Ini Pendapat 4 Mazhab Yang Perlu Jadi Referensi

Mengenakan Cadar Menurut NU

Sampai kini, persoalan hukum memakai cadar bagi wanita merupakan persoalan khilafiyah. Bahkan dalam madzhab Syafi’i sendiri yang dianut mayoritas orang Nahdlatul Ulama (NU) terjadi perbedaan dalam menyikapinya.

Meskipun harus diakui bahwa pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah.

Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.

Abdul Hamid asy-Syarwani dalam "Hasyiyah asy-Syarwani" sebagaimana dikutip NU Online, menyebut bahwa perempuan memiliki tiga aurat.

Pertama, aurat dalam salat. Kedua aurat yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya, yaitu seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang mu’tamad.

Di kalangan mazhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunnah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.

Baca juga: Laudya Cynthia Bella Diduga Sudah Bercadar, Akun Instagram Kini Jadi Olshop

Sementara itu, dalam NU sendiri bukan hanya mengakui mazhab Syafi’i tetapi juga mengakui ketiga mazhab fikih yang lain, yaitu Hanafi, Maliki, dan Hanbali.

Dalam kitab "Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah" disebutkan mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Maknanya, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya.

Mazhab Maliki bahkan menyatakan bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika dalam salat maupun di luar salat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw).

Namun di satu sisi mereka berpendapat bahwa menutupi dua telapak tangan dan wajah bagi wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah, ketika ia adalah wanita yang cantik atau dalam situasi banyak munculnya kebejatan atau kerusakan moral.

Muhammadiyah Soal Cadar

Setidaknya ada 3 fatwa terkait cadar yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah, yakni fatwa tahun 1993, fatwa tahun 2003, dan fatwa tahun 2009.

Dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, disebutkan bahwa tidak ada dasar hukum yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang mewajibkan penggunaan cadar.

Syariat Islam hanya memerintahkan perempuan untuk memakai jilbab. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31: “Katakanlah kepada perempuan yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…’”

Menurut Jumhur ulama, bagian tubuh yang boleh nampak dari seorang perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya. Pendapat ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Abbas RA dan Ibnu Umar RA sebagaimana tertulis dalam Tafsir Ibnu Katsir (vol. 6:51).

Hadis dari Aisyah RA juga menjelaskan hal ini. Ketika Asma’ binti Abu Bakar menemui Rasulullah SAW dengan pakaian tipis, beliau berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang perempuan itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini,” sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya [HR. Abu Dawud].

Meskipun hadis ini dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud, ia memiliki penguat dari jalur-jalur lainnya yang juga diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri, ath-Thabrani, al-Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah.

Baca juga: Kartika Putri Hapus Foto Diri di Instagram, Netizen: Masya Allah, Kamu Bercadar Ya?

Banyak riwayat lain menunjukkan bahwa banyak dari para sahabat perempuan yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka. Misalnya, dalam kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi SAW, diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut terlihat merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).

Dalam konteks salat, riwayat dari Aisyah RA menyebutkan bahwa para perempuan pada zaman Nabi SAW memakai kain yang menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at fi-murutihinna), dan tidak seorang pun yang mengenal mereka karena gelapnya waktu subuh [Muttafaq ‘alaihi].

Imam asy-Syaukani memahami hadis ini bahwa para sahabat perempuan tidak dapat mengenali satu sama lain bukan karena memakai cadar, tetapi karena keadaan masih gelap.

Mengenai pertanyaan apakah tidak memakai cadar termasuk mengingkari sunnah, jawabannya adalah tidak. Mengingkari sunnah berarti tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.

Sementara itu, tidak memakai cadar tidak termasuk dalam kategori ini, karena penggunaan cadar sendiri bukanlah suatu kewajiban yang tegas dalam syariat Islam.

Yang terpenting adalah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan, serta memahami bahwa inti dari berpakaian dalam Islam adalah menjaga kesopanan dan kehormatan diri sesuai dengan ajaran yang telah ditetapkan.

Cadar Menurut Salafi

Jilbab syar'i dan cadar telah menjadi penanda kelompok Salafi yang mengacu pada ekspresi individualitas perempuan Salafi.

Ustadz Salafi, Abdul Adhim, menjelaskan jilbab syari bukanlah semata budaya bangsa Arab, akan tetapi benar-benar syariat Allah yang berlaku bagi seluruh kaum muslimah.

Kewajiban sebagai orang yang beriman menerima, tunduk, dan pasrah sepenuhnya dengan disertai keyakinan kuat. Syariat ini ada untuk kemashlahatan dan kebaikan hamba-Nya, terutama kaum muslimah, yang akan mendapatkan hikmah dalam berjilbab syari.

Istilah jilbab syari berasal dari Bahasa Arab. Jamaah Salafi memahaminya berupa kain yang menutupi seluruh tubuh atau
kain yang dipakai di atas baju sesuai metode atau cara yang sudah dijelaskan oleh Allah kepada Rasul-Nya dalam agama Islam
yang benar.

Muhammad Nashiruddin Al-Albani (2010/2014: 114) memastikan bahwa wajah bukanlah aurat yang wajib ditutupi. Pendapat ini dinyatakan oleh mayoritas ulama.

Akan tetapi, jamaah Salafi dalam praktiknya meyakini bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatannnya lebih dominan daripada kerusakannya maka hal tersebut diperintahkan, baik dalam bentuk wajib maupun sunnah.

Apabila wanita yang membuka wajahnya kepada laki-laki lain mengandung berbagai kerusakan, diperintahkan menutupinya.
Al-Utsaimin menjelaskan sebagian kerusakan adalah fitnah (godaan) karena wanita sering menciptakan fitnah pada dirinya sendiri dengan mempercantik dan memperindah wajah serta menampakkannya dengan penampilan yang memfitnah (menggoda/merangsang).

Ini merupakan pemicu kejahatan dan kerusakan sehingga kaum wanita harus menutup dirinya dari (pandangan) kaum laki-laki. Ibnu Taimiyyah berkata bahwa para wanita diperintahkan untuk mengenakan jilbab agar tidak dapat dipandangi dan jilbab sendiri harus menutup seluruh wajah atau menutup wajah dengan cadar.

Wajah dan kedua telapak tangan dapat dikategorikan sebagai perhiasan yang disuruh untuk tidak diperlihatkan kepada laki laki lain. Dengan demikian, hal yang masih halal bagi laki-laki adalah memandang pakaian luar saja.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 27 Maret 2025
Imsak
04:31
Shubuh
04:41
Dhuhur
12:02
Ashar
15:14
Maghrib
18:03
Isya
19:12
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan