LANGIT7.ID-Pembicaraan tentang hubungan agama dan politik dalam Islam seringkali mengabaikan konteks historis yang mendasar: masyarakat
Madinah pada masa
Nabi Muhammad SAW.
Dalam tulisannya di "
Jurnal Pemikiran Islam Paramadina",
Nurcholish Madjid yang akrab disapa Cak Nur menegaskan bahwa memahami Madinah adalah kunci untuk menangkap esensi politik Islam yang otentik dan relevan dengan persoalan kontemporer.
Madinah bukan sekadar nama geografis baru bagi sebuah kota oase di Jazirah Arab. Kota yang dulunya bernama Yatsrib itu, dihuni oleh suku-suku Arab pagan Aws dan Khazraj serta komunitas Yahudi, menyimpan makna yang jauh lebih dalam ketika Nabi mengganti namanya menjadi Madinah.
Dalam perspektif bahasa Arab, “madinah” berarti kota, tetapi akar kata ini mengandung makna kepatuhan (d-y-n), yang berhubungan dengan konsep agama (din) sebagai sistem kepatuhan total kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep kepatuhan ini bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi menjadi pijakan fundamental bagi tatanan sosial dan politik.
Islam sebagai agama yang benar adalah kepatuhan yang penuh pasrah dan integral, yang melahirkan kedamaian dan keselamatan—nilai-nilai yang berakar dari kata salam dan salim. Kepatuhan itu bukan hanya tuntutan spiritual, melainkan hukum alam bagi masyarakat dan alam semesta.
Baca juga: Masih di Madinah, Ivan Gunawan Asyik Bagi-Bagi Sarapan Sedekah Subuh Dalam konteks Madinah, penggantian nama ini merupakan proklamasi atas lahirnya masyarakat yang berperaturan, sebuah madaniyah—peradaban yang berlandaskan kesadaran kolektif untuk patuh pada hukum.
Madaniyah, seperti halnya civic dan polis dalam bahasa Indo-Eropa, menandai pola hidup masyarakat yang menetap, teratur, dan berbudaya (tsaqafah dan hadlarah), bertolak belakang dengan gaya hidup nomaden (*badawah*) yang dianggap primitif dan kasar.
Al-Qur’an bahkan membedakan antara orang “kota” (ahl al-hadlar) yang menginternalisasi hukum dan budaya, dengan orang “kampung” atau nomaden (ahl al-badawah atau al-A’rab) yang ketaatannya sering hanya bersifat lahiriah dan belum menyentuh kedalaman iman. Hal ini menunjukkan betapa kompleks dan strategisnya proses pembentukan masyarakat Madinah, yang menjadi cikal bakal negara Islam yang modern dan beradab.
Dalam era kontemporer, refleksi atas makna Madinah ini sangat penting. Di tengah pergulatan identitas dan politik Islam yang kerap dipandang kontradiktif, Cak Nur mengajak kita untuk menengok kembali pada akar sejarah dan konsep politik Islam yang otentik: sebuah masyarakat madani yang berdasar pada hukum, kepatuhan, dan kesadaran kolektif, bukan sekadar simbol keagamaan atau kekuasaan politik semata.
Baca juga: Titik Balik Titiek Puspa Mengenal Islam, Bermula di Kota Madinah(mif)